Potensi & Prestasi
Ahmadi Sofyan--
Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku / Pemerhati Sosial
KALAU pejabat yang digaji oleh rakyat bekerja dengan baik nggak perlu dipuji, karena memang itu kewajiban. Kita rakyat bertugas mengawasi dan mengkritisi. Mengkritik bukan berarti membenci.
Era Modern dan teknologi yang kian canggih seperti sekarang ini, untuk memaknai potensi dan prestasi sepertinya kian bias. Pemahaman tentang potensi dan prestasi akan mempengaruhi daya serap kita terhadap suatu objek, baik di dalam maupun diluar diri kita.
Pun membedakan makna kewajiban dan prestasi sudah kian bias ditengah kehidupan sosial masyarakat kita.
Akhirnya kehidupan sosial kian parah, untuk terkenal harus viral dan viral paling efektif saat ini adalah sensasi. Tidak perlu sama sekali soal potensi dan prestasi.
Potensi adalah sebuah dasar yang dimiliki seseorang untuk mungkin dikembangkan.
Sedangkan prestasi yang berasal dari bahasa Belanda yang berarti hasil dari usaha yang telah dikerjakan. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggungjawab. Oleh karenanya, ditengah-tengah kehidupan sekarang ini kerapkali kita menjadikan tanggungjawab itu adalah prestasi.
Inilah yang mungkin sering disebut “gagal paham” yang kalau bahasa populernya Rocky Gerung adalah “dungu”.
Ulama yang juga budayawan, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) seringkali menanyakan bahwa sholat itu potensi ataukah prestasi? Menjadi sarjana itu potensi apakah prestasi? Akurasi dari jawaban itu ternyata menunjukkan tingkat resolusi dalam diri kita. Jangan membandingkan tupai yang bisa meloncat dengan ikan yang pandai berenang. Karena resolusi wilayah tupai dan burung itu berbeda.
Ternyata, menjalankan sholat 5 waktu itu bukanlah prestasi. Tapi karena sholat yang didirikan 5 waktu itu mampu menata kehidupan amar ma’ruf nahi munkar barulah disebut prestasi. Setelah sholat semakin besar rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia, memberikan kedamaian pada keluarga, tetangga, lingkungan, dan semua makhluk, itu barulah disebut prestasi. Sholat adalah kewajiban kita sebagai hamba, sedangkan Allah SWT tidak membutuhkan itu.
Puasa di bulan Ramadhan itu bukanlah prestasi. Tapi dari puasa lalu mengubah kehidupan menjadi lebih baik dengan memahami makna ketidakberdayaan, lapar dan haus, sosial kemasyarakatan, lantas makna potensi dalam puasa itu dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, itulah baru disebut prestasi. Begitupula dengan membayar zakat dan haji.
Memiliki nilai akademik cumlaude bukanlah sebuah prestasi, tapi kebermanfaatan diri ditengah masyarakat setelah mendapatkan gelar kesarjanaan itulah baru disebut prestasi.
Seringkali saya ungkapkan kepada adik-adik mahasiswa yang hendak menyandang titel sarjana, bahwa masyarakat tidak membutuhkan nilai akademikmu, tidak membutuhkan titel dan status sarjanamu, tapi yang dibutuhkan masyarakat adalah prestasimu ditengah masyarakat, yakni manfaat keberadaan dirimu.
Begitupula yang kerap saya ungkapkan kepada kawan-kawan jomblowan maupun jomblowati yang sudah menemukan pasangan hati. Bahwa, menikah dengan siapapun bukanlah prestasi, tapi dari pernikahan itu mampu mendidik dirimu menjadi pemimpin dalam rumah, menjadikan diri semakin dewasa, mampu menempa segala persoalan yang datang tiba-tiba, kejeliaan melihat peluang dalam usaha, dan memberikan kedamaian pada kehidupan orang banyak, itu baru bisa disebut prestasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: