Urang Bangka Itu… (2)
Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
URANG Bangka itu nggak boleh diremehkan. Sebab ia seperti kunyit dalam Lempah Kuning. Kecil & kelihatan tak bermutu, tapi kalau sudah ditumbuk & nyemplung, ia paling mempengaruhi baik rasa apalagi warna.
Taring (Catatan Ringan) Jum’at lalu di harian Babel Pos cukup banyak yang merespon, baik masyarakat biasa, teman, maupun pejabat dan mantan pejabat.
Tulisan saya tentang karakter urang Bangka dengan judul yang sama (seperti diatas) ternyata dianggap mewakili pemahaman mereka tentang karakter masyarakat Bangka dengan cara santai dan penuh canda di penuturan dalam tulisan.
Ada yang merespon positif, ada yang mengkritik, ada yang minta nambah lagi alias minta ditulis lebih mendalam karena dianggap “penting”.
Begitulah Urang Bangka, suka dan tidak suka akan terungkap dengan sikap dan kata alias satunya kata dan perbuatan. Urang Bangka tidak terbiasa menyembunyikan perasaannya.
Urang Bangka asli itu tidak akan munafik, tidak manis dibibir buruk diperilaku, atau manis didepan buruk dibelakang.
Oleh karenanya, kadangkala bagi sebagian masyarakat diluar Bangka, apalagi masyarakat Jawa yang dikenal toto kromonya, Urang Bangka bisa dianggap tidak sopan, terlalu vulgar alias “Ora Njawani”.
Urang Bangka kalau menyimpan perasaan yang tidak bisa diungkapkan secara langsung, bisa membuat suhu badannya berubah mendadak alias “gelugud” atau demam.
Walaupun begitu, karakter Urang Bangka jika tidak menyukai seseorang biasanya memiliki 3 tingkatan. Tingkatan pertama “Langok/Lungoi”. Lalu meningkat menjadi “Melengos” alias buang muka, dan yang paling tinggi adalah “Gelik Yok”.
Nah, kalau Urang Bangka sudah pada tingkatan “Gelik Yok”, jangankan Anda nyanyi, Anda Ngaji saja dia bisa meludah.
Ia tidak akan pernah peduli sepintar apapun isi kepalamu, bicaramu, profesimu, jabatanmu, sebab kalau ia sudah “Gelik Yok”, ibarat kanker itu masuk stadium 4.
Hanya keajaiban Tuhan yang bisa merubahnya. Pun demikian, urang Bangka akan melabelkan seseorang yang masih “hijau” dengan kalimat “agik mantak” (belum matang), jika sudah rada kesel maka label-nya naik setingkat yakni “mantak igak” dan pada berikutnya “mantak malai” dan stadium yang paling parah adalah “mati mantak”.
Seperti yang saya ungkapkan pada tulisan sebelumnya, Urang Bangka itu sangat egaliter. Kemerdekaan atau kedaulatan dirinya sangat besar. Ia maunya berjalan harus beriringan, duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: