Gubernur Babel Erzaldi Masih Terus Berjuang Untuk Kenaikan Royalti Timah

Gubernur Babel Erzaldi Masih Terus Berjuang Untuk Kenaikan Royalti Timah

*Komisi VII Sepaham Dengan Gubernur -- *Dorong Bangun Pabrik, Setop Ekspor Timah -- RABU (07/4) kemarin, jadi momentum penting bagi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Gubernur, Erzaldi Rosman Djohan yang tak lelah berjuang untuk mendapatkan kenaikan royalti timah, sepertinya berhasil menarik perhatian anggota Komisi VII DPR RI tentang usulan kenaikan royalti timah dari 3% selama ini menjadi 10% untuk meningkatkan pembangunan daerah dan menambah kas Pemerintah Pusat. Oleh: Safari Ans - Salah Satu Tokoh Pejuang Pembentukan Provinsi Babel -- DALAM pembayaran royalti timah itu, memang ada jatah Pemerintah Pusat sebesar 20%. Jatah untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) malah hanya 16%. Sisanya merupakan jatah kabupaten atau kota penghasil timah. Artinya usulan kenaikan royalti timah yang diusulkan oleh Gubernur Babel sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan keuangan daerah dan pusat. Seperti disinyalir oleh PT Inalum (Persero) beberapa waktu lalu, berdasarkan data tahun 2019, PT Timah Tbk sendiri telah berhasil membukukan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 1,1 triliun, terdiri dari; Royalti: Rp 556 miliar, Pajak Rp 393 miliar, PBB Rp 103 miliar, dan Dividen Rp 120 miliar. Pada tahun 2019, BUMN ini pada tahun yang sama juga berhasil melakukan ekspor dengan volume tertinggi dalam satu dekade saat ini, yakni 64.539 ton. Jika rata-rata harga timah tahun 2019, maka kocek PT Timah Tbk berisi minimal Rp 16,7 triliun. Gubernur Erzaldi Rosman di Komisi VII itu tampaknya berhasil mengajak wakil rakyat untuk melek tentang komoditi timah, karena kalangan pengusaha timah Babel merasa tidak keberatan atas kenaikan royalti timah dari 3% saat ini menjadi 10%. Hal ini akan ikut membantu naiknya fiskal di Babel yang belakangan ambruk ke titik terendah. Apalagi komoditi timah menempati sekitar 85% dari total ekspor yang berasal dari Babel. Yang menjadi persoalan kemudian, pencairan L/C ekspor timah sebesar itu tidak dilakukan di perbankkan yang ada di Babel. Paling banter para pengusaha hanya mengirimkan uang ke Babel untuk membayar gaji karyawan dan bayar biaya produksi. Dalam kesempatan itu juga Gubernur menyampaikan realisasi pendapatan Babel dalam bidang mineral timah ini masih sangat rendah. Misalnya tahun 2019 sebagai tahun penjualan timah tertinggi dalam satu dekade belakangan, dapatlah dicatat pendapatan meliputi Rp 32,7 miliar iuran tetap (landrent) dan Rp 528,3 miliar berupa iuran produksi (royalti), sehingga pagu pendapatan pusat dan daerah di Babel mencapai angka sebesar Rp 561 Miliar. Itu jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2018, dimana iuran tetap capai Rp 61,9 miliar dan royalti Rp618,5 miliar, sehingga total menjadi Rp680,5 miliar sebagai yang tertinggi dalam satu dekade belakangan. Dalam catatannya, memang Babel belum pernah membukukan pendapatan sektor timah setinggi angka Rp 680,5 miliar untuk royalti sebanyak 3% itu. Artinya kalau royalti timah naik hingga 10%, maka pendapatan daerah dan pusat akan mencapai di atas Rp1,5 triliun. Artinya, kontribusi komoditi timah di Indonesia akan menjadi besar di tengah krisis melanda semua sektor usaha kecuali tambang. Bahkan Bambang Patijaya yang kini menjadi anggota DPR RI Komisi VII berasal daerah pemilihan dari Babel menyambut baik kenaikan royalti ini. Dalam forum itu Bambang Patijaya mengusulkan agar kenaikan royalti timah itu secara berjenjang. Misalnya, ketika harga timah murah, maka royalti yang harus dibayar pengekspor timah juga murah. Tetapi ketika harga timah tinggi (pasar dunia), maka pembayaran royaltinya juga tinggi. Karena narasinya untuk kepentingan daerah dan negara, maka Bambang Patijaya amat setuju adanya kebaikan royalti timah. Penulis sendiri meminta kepada pimpinan Komisi VII DPR RI yang diketuai oleh Sugeng Suparwoto agar mengajak Pemerintah Pusat untuk meminta kepada produsen yang membutuhkan timah, buka pabrik saja di Bangka dan Belitung. Dengan demikian, timah tidak perlu lagi tidak perlu lagi diekspor. Sebab Babel sudah menyiapkan kawasan industri yang siap pakai saat ini. Ide ini mendapat sambutan pimpinan sidang yang juga Ketua Komisi VII DPR RI itu. Hal ini penulis sampaikan, mengingat bahwa timah tidak begitu banyak lagi di Babel. Apalagi saat ini hanya dua negara yang mensuplai timah dunia. Yakni Tiongkok dan Indonesia. Sekarang ini Tiongkok sudah menyatakan bahwa mereka tidak lagi mau ekspor timah putih miliknya. Alasannya, industri dalam negeri Tiongkok sendiri saat ini sedang membutuhkan timah putih. Malah Tiongkok menyerukan agar produsen yang membutuhkan timah agar buka pabrik saja di Tiongkok. Babel seharusnya berbuat yang sama dengan Tiongkok. Ide ini kemudian disambut Ketua Komisi VII dengan baik. Gubernur Babel seperti juga setuju, agar industri di Babel tumbuh pesat dalam waktu dekat ini, terutama pabrikan dan supplier perusahaan handphone dan tablet yang kini lagi gandrung. Gubernur Babel dalam pertemuan ini diikuti Thobrani Alwi mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Usmandie Andeska, Kepala Bappeda Babel Fery Insani , dan Dwi Putra Herman staf Kadis ESDM Babel, dan penulis sendiri. Mereka diberikan kesempatan oleh Gubernur untuk bicara sepuasnya. Sayang Ketua DPRD Provinsi Babel tidak jadi datang walaupun sudah dijadwalkan hadir. Dalam kesempatan tersebut, juga diungkapkan usulan Babel agar dalam Undang-undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) dimana Pemerintah Pusat cukup mengambil 10% dari royalti, lalu 90% untuk daerah. Dimana dari 90% itu, jatah untuk Provinsi 18% dan jatah kabupaten/kota yang bersangkutan 72% baik tambang laut maupun tambang darat. Malah Babel juga meminta agar besaran royalti itu diatur dalam UU HKPD sehingga ada kepastian yang dapat dipegang oleh daerah dan pusat. Dalam kesempatan itu, Babel meminta perhatian secara spesifik tentang Babel. Sebab kondisi dan situasi di Babel sangat berbeda dengan situasi dan kondisi daerah tambang lainnya. Kondisi alam Babel saat ini sudah sangat kritis. Bahkan Walhi sampai meminta Pemerintah Jokowi untuk menghentikan aktivitas pertambangan di Babel, karena kondisi alamnya sudah sangat mengerikan. Bahkan sebuah riset yang tidak resmi mencatat, bahwa wilayah yang belum tersentuh oleh tambang timah di Babel saat ini hanya sekitar 8%. Selebihnya sudah pernah dijamah oleh penambang timah yang sudah berlangsung di Babel sejak tiga abad silam. Menyedihkan sekaligus mengerikan. Kesimpulan Kesimpulan Rapat Komisi VII DPR RI dengan Gubernur Babel Erzaldi Rosman Djohan tentang Kenaikan Royalti Timah itu adalah Komisi VII akan mendorong Pemerintah Pusat agar royalti timah dinaikan dari 3% menjadi 10% demi pembangunan daerah dan menambah pendapatan negara. karena dalam royalti tersebut ada 20% milik Pemerintah Pusat, 16% milik Pemprov Babel, dan sisanya merupalan jatah kabupaten dan kota penghasil. Komisi VII akan memanggil Kementerian BUMN untuk membicarakan masalah hibah saham 14% milik Pemerintah Pusat cq. PT Inalum (Persero) yang ada di PT Timah Tbk sebesar 65%. Bahkan Komisi VII setuju mengajak Pemerintah Pusat untuk menggiring produsen yang membutuhkan timah putih agar membuka pabrik saja di Babel, sehingga timah tidak perlu diekspor. Toh, Babel telah menyiapkan kawasan industri yang siap ditempati para pabrikan.***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: