Personal Branding, Apa Pula itu Nak?

Personal Branding, Apa Pula itu Nak?

SEKUAT apapun seseorang membangun personal branding boleh juga termasuk pencitraan diri di media sosial (Medsos) -- , seperti di facebook, Youtube, Whatsapp, Instagram, BIP, Line, Twitter, dan lain-lain, pada akhirnya -- tetap harus membangun kepercayaan yang lebih kuat juga yang masih didominasi media mainstream (MSM) --koran, majalah, tabloid, termasuk TV dan radio--. Kecuali jika hanya untuk kepentingan promo, bisnis, atau numpang ngetop. Oleh: Syahril Sahidir - CEO Babel Pos Grup -- BAGAIMANA dengan mau menghadapi Pilkada dan Pemilu 2024 nanti? Bukankah semua akan rame-rame, mulai dari calon legislatif, calon walikota/Wakil Walikota, calon Bupati/Calon Wakil Bupati, calon Gubernur/Calon Wakil Gubernur, bahkan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden. Bukankah pencitraan dan personal brandingnya adalah untuk agar terpilih dan bisa mempengaruhi sikap publik? Kasarnya, publik yang dulunya cuek, dulunya tak peduli, atau bahkan dulunya benci kini bisa berbalik menjadi simpati dan menyenangi seseorang yang citra dan personal brandingnya tengah atau sedang dibangun itu? Dan ingat, Pilkada itu nantinya justru didominasi oleh daerah tanpa incumbent? Dan ingat lagi, dengan kondisi yang sama, start yang sama, serta fasilitas dan ketersediaan perangkat yang semua sama, berarti semua akan melakukan hal yang sama? *** PERANGKAT dan fasilitas Medsos saat ini mengalami perkembangan bukan lagi dalam hitungan hari, tapi sudah hitungan jam bahkan menit. Fitur dan serta fasilitas terus bertambah dan kian cangggih. Sehingga berbagai informasi dapat diakses demikian cepat oleh Medsos, bahkan kadang berbarengan dengan berjalannya informasi itu sendiri. Akibat pertarungan siapa cepat inilah kadang yang membuat pengabaian terhadap akurasi, bahkan kadang kebenaran hakiki. Kondisi dunia Medsos inilah membuat eksistensi media mainstream tetap dibutuhkan dan tetap tinggi. Informasi yang didapat dari Medsos, akan diuji kebenarannya dengan pembutian muncul atau tidak di MSM. Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara meyakini media mainstream atau arus utama seperti koran (media cetak) dan elektronik (radio dan televisi) tidak akan mati gara-gara media sosial. \"Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream apakah cetak atau elektronik itu tinggi, maka saya meyakini media mainstream tidak akan mati gara-gara media sosial,\" katanya. Menteri mengatakan media mainstream mementingkan kebenaran dan keakurasian daripada kecepatan, sedangkan medsos mementingkan kecepatan daripada keakurasian. Ia menuturkan di dunia media sosial kecepatan itu nomor satu, bahkan karena mendewakan kecepatan mereka menomorduakan keakurasian. *** HANYA hal yang perlu diingat, posisi MSM sesunguhnya bukan terancam pada keberadaan Medsos, tapi justru pada akurasi dan kepercayaan publik khususnya di Indonesia. Sebuah penelitian tahun 2017 menyebutkan, Tingkat kepercayaan terhadap jurnalisme profesional di Indonesia sudah sangat rendah. Dalam survei tahun 2017 tentang kepercayaan atas lembaga-lembaga besar, peringkat terendah ditempati partai politik (45%), parlemen (55%), pengadilan (65%), dan media massa (67%). Bahkan peringkat kepolisian Indonesia (70%) mengalahkan pers. Jika kepercayaan itu terus tergerus hingga titik terendah, pada akhirnya orang akan menempatkan posisi MSM sama dengan Medsos. Dan itu berarti, MSM tamat. Apakah salah MSM sesunngguhnya? Jika mau jujur, bukan pada soal akurasi, tapi justru lebih pada urusan periuk nasi yang menyebabkan MSM terjerambab ke membangun koalisi diam, dan lama-lama terbuka menjadi media partisan? *** PARA penggiat media pada akhirnya menyadari soal kekuatan dan kelemahan Medsos dan MSM. Medsos mengandalkan kecepatan, MSM mengandalkan akurasi. Dari sini pula akhirnya pengelola media MSM terutama --yang memang notabene berdiri di atas badan hukum resmi negara-- memilih menggabungkan keduanya dan melahirkan juga lewat Medsos --baik dalam bentuk FB, upload berita online, atau dalam bentuk lainnya--. Ketika suatu berita dikabarkan didapat dari Medsos --atau internet misalnya--, maka pendengar tidak antusias. Tapi ketika dikatakan didapat dari media mainstream yang sudah ternama --baik nasional maupun lokal--, maka ada auntiasme di situ, karena ada jaminan akurasi dan kebenaran dari sebuah nama media mainstream terpercaya. Intinya memang, peran media mainstream dan insan pers masih dibutuhkan masyarakat dan pemerintah justru untuk memerangi informasi ujaran kebencian dan hoaks yang disampaikan oleh media sosial. Masyarakat masih butuh informasi yang benar sesuai data, fakta, dan terverifikasi yang disajikan media konvensional di Indonesia. Media mainstream menjadi garda terdepan sebagai sumber informasi yang valid bagi masyarakat, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Persoalannya, kondisi media maintsream yang tengah tererengah-engah sekarang ini, tidak mendapat perhatian besar dari pemerintah, sementara ia justru bertugas menghadapi dan meluruskan berita hoak yang berseliweran dari berbagai sudut. Wajar, jika akhirnya kemudian mulai banyak media mainstream menggunakan jurus mabuk....***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: