Memahami BBM dan BBN, PLTT \\\'bukan\\\' PLTN

Memahami BBM dan BBN, PLTT \\\'bukan\\\' PLTN

\"BAHAN Bakar Minyak (BBM) dan Bahan Bakar Nuklir (BBN) kini jadi perbincangan serius belakangan ini. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sepakat, 50 tahun kedepan BBM tidak boleh lagi dipakai, termasuk batubara karena merusak lingkungan hidup terparah. Karenanya seluruh dunia demam mobil dan motor listrik. Dunia sepakat terapkan green energy sebagai pembangkit listrik. Salah satu solusinya Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT). Ternyata memang hakekat PLTT tidaklah sama dengan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).\"

Oleh: Safari Ans - Salah Satu Tokoh Pejuang Pembentukan Provinsi Babel --

TAK ada yang membantah, ada banyak ragam dan jenis BBM yang digunakan saat ini. Yang pernah tertera di SPBU (Stasiun Pengisian Bakar Umum) di seluruh Indonesia ada yang dinamakan Premium (bensin), Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Solar, dan Biodiesel. Semua dipakai sesuai dengan jenis dan tipe kendaraan yang kita pakai. Kalau kendaraan mesin diesel, tidak mungkin gunakan BBM Pertalite atau Pertamax. Demikian sebaliknya. Masing-masing jenis BBM punya spesifikasi dan performa khusus dan berimplikasi pada kendaraan yang menggunakannya.

Demikian juga dengan BBN. Beberapa jenis BBN sudah dikenal dikalangan ahli nuklir dunia dan Indonesia. Hanya saja psikologis masyarakat ketika disebut \"nuklir\" terasa takut mengingat dahsyat bom nuklir yang meluluh-lantakan Hiroshima dan Nagasaki di Jepang yang mengakhiri Perang Dunia II tahun 1945. Sehingga, ketika ditulis atau disebut PLTN, terbersit dalam pikiran kita, ledakan dahsyat itu. Padahal BBN banyak macam dan ragamnya. Sama seperti BBM tersebut diatas.

Dalam dunia nuklir (BBN) dikenal ada uranium, thorium, plutonium, helium, dan radium, dan lainnya (maaf penulis bukan ahli nuklir, Red) . Diketahui umum, uranium banyak terdapat di pegunungan Papua dan wilayah Indonesia lainnya. Tetapi thorium sekarang hanya wilayah Bangka dan Belitung serta sedikit di Kalimantan Barat. Setidaknya ini terdapat dalam peta \"Radioactive Mineral Occurrences Map in Indonesia\". Bisa jadi peta mineral radioaktif itu berdasarkan riset BATAN di pulau Belitung tahun 2010 dan riset di Bangka tahun 2011 dan 2012. 

Wilayah Bangka Belitung menurut PT Timah Tbk dan BATAN (kini digabung dalam BRIN) mencatat ada uranium juga, disamping thorium. Tapi tak banyak. Dalam sebuah seminar nasional tentang sumber energi listrik yang diselenggarakan Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) tahun 2016, PT Timah Tbk (sebagai pembicara) mengungkap, bahwa di wilayah IUP miliknya (400.000 hektar di Babel) secara hipotetik terdapat 24.000 ton uranium, 120.000 ton thorium, dan 7.000.000 ton logam tanah jarang. 

Itu baru wilayah tambang yang dimiliki BUMN tanpa saham Babel itu. Belum lagi wilayah tambang yang dimiliki swasta di Babel yang luasnya hampir sama. Karena itu Dinas ESDM Babel memperkirakan di Babel ada sekitar 750.707 ton thorium. Bukan uranium lho, tapi thorium. Sekali lagi, thorium. Dalam berbagai publikasi, material uranium dan thorium selalu dipisahkan. Karena kedua material radioaktif ini berbeda. Uranium dan thorium memiliki klasifikasi sendiri. Sama seperti klasifikasi BBM tersebut diatas. Artinya, antara uranium dan thorium memang tidak sama. Hanya saja kedua material itu, sama-sama jenis radioaktif. 

Kendati begitu, ahli nuklir sepakat kedua sumber energi ini masuk kategori sumber energi yang terbarukan dan green energy yang didambakan dunia. Karena tidak ada di dunia, negara besar yang tidak memiliki pembangkit listrik yang tidak menggunakan nuklir. Namun nuklir jenis apa. Atau BBN jenis apa yang digunakan. Kalau BBN jenis uranium (PLTN) sudah mulai ditinggalkan dunia saat ini, walau masih digunakan. Karena ampas PLTN dapat menghasilkan plutonium. Material plutonium dapat dijadikan bahan untuk memproduksi bom atom atau hulu ledak nuklir melalui peluru kendali. Jadi wajar dunia internasional bakal ribut kalau Babel akan membangun PLTN. Karena ampasnya berbahaya bagi negara tetangga, mereka khawatir kalau-kalau kelak Indonesia bakal memproduksi hulu ledak nuklir pada peluru kendali produksi LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional).

Tetapi kalau Babel membangun PLTT, dunia hanya diam membisu  karena ampas PLTT habis. Dan radio aktifnya menjadi nol setelah 10 (sepuluh) tahun disimpan. Itupun kalau ada ampasnya. Teorinya tidak ada ampas PLTT. Sedangkan ampas PLTN baru menjadi nol apabila telah melewati waktu simpan 100 (seratus) tahun. Lagi pula material thorium telah dipakai pada kaos lampu Petromak yang sering dipakai masyarakat Babel dalam keperluan penerang di malam hari. Artinya, thorium tidak berbahaya alias sangat friendly dengan manusia. Karena tidak ada masyarakat mati atau sakit karena menggunakan lampu Petromak.

Pada Juli 2020 lalu, Gubernur Babel Erzaldi Rosman telah meneken MOU (nota kesepahaman) antara ThorCon International Pte Ltd untuk membangun PLTT di wilayah Babel bernilai Rp 17 triliun. Salah seorang pendiri ThorCon, Robert Hargraves adalah penulis buku \"Thorium Cheaper Than Coal\" (2012), kini menjadi kitab suci praktisi thorium dunia. Ia menjadi pembicara utama dalam seminar nasional soal sumber energi tahun 2016 diatas. Dalam seminar itu, ia mengatakan bahwa tidak ada lagi sumber energi paling murah dan ramah lingkungan, kecuali thorium yang saat ini berlimpah di Babel. Dengan thorium bisa memproduksi listrik hanya USD 3 sen/kWh, sementara masih batubara di atas USD 5 sen/kWh.

Thorium di wilayah Babel, sudah berada di permukaan tanah. Ia berada dalam monazite yang kini berhamburan jadi sampah smelter timah di banyak titik di Babel. Jika ini dibiarkan, hamburan thorium di Babel menjadi bahan radioaktif yang mencemari lingkungan. Mencemari air minum, mencemari tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang tumbuh di wilayah Babel. Juga mencemari makhluk hidup. Karenanya Bob Effendi pimpinan ThorCon untuk Indonesia berkali-kali mengatakan; sebaiknya masyarakat Babel memanfaatkan limbah lingkungan radioaktif thorium menjadi produktif dan bernilai tinggi. Bayangkan saja, 1 ton thorium berharga Rp 50 miliar (USD 3,6 juta/ton), bandingkan dengan timah yang harga tertinggi saat ini hanya USD 44.000 per ton (Rp 616 juta/ton) di pasar dunia.

Saat ini, ada satu dua smelter milik anak Bangka yang sudah berhasil memisahkan mineral thorium yang terdapat dalam monazite. Salah satunya smelter pimpinan Muni Yandoni. Ia Direktur Utama PT. Bangka Mineral Abadi. Ia juga pimpinan cabang PT. Sundaland Internusa, bergerak di bidang pengolahan mineral ikutan timah dan zirkon. Merupakan grup usaha yang dipimpin oleh Henry Lee di Bangka. Namun saat ini mereka baru mengekspor zirkon. Doni, demikian panggilan akrabnya, telah menunjukan kepada penulis hasilnya beberapa waktu lalu, bahwa ia telah berhasil memisahkan mineral thorium. Tetapi karena regulasinya belum ada di Indonesia saat ini, material thorium hanya disimpan saja. Siapa tahu kelak Babel membutuhkannya untuk PLTT Babel yang sekarang izinnya dalam tahap finalisasi.

Dalam proses pemisahannya, kalangan praktisi mineral di Babel telah mencatat. Dalam monazite 93,54% terdapat 76,63% logam tanah jarang, thorium, dan uranium. Kalau kalau diurai lagi, terdapat 72,33% logam tanah jarang, dan hanya 4,3% thorium dan uranium. Prosentase itu bisa berubah-ubah tergantung sumber material yang diolah berasal dari mana. Berasal dari tambah timah di daratan kah atau laut.

Pemuda Bangka otodidak bernama Affan Ptw yang kini jadi pengrajin thorium sejak dulu hingga kini. Pernah menerima tantangan tim PLN pusat ketika survei sumber listrik di Babel. Affan bilang, bahwa dia bisa membuat tembok rumah dinas Gubernur Babel menyalakan sebuah lampu. Ia cukup membuat kabel dipaku di tembok dengan posisi min dan ples. Patgulipat lampu yang dipasang pun menyala. Pertanda bahwa pasir di tembok bangunan di rumah dinas Gubernur Babel mengandung thorium. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: