Ekonomi Babel di Persimpngan Jalan: Strategi Bertahan atau Bertransformasi?
Yuherna dan Andi --Foto: ist
Oleh : Yuherna dan Andi
Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Bangka Belitung
___________________________________________
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung saat ini berdiri di sebuah persimpangan sejarah yang akan menentukan masa depannya. Selama lebih dari seabad, identitas ekonomi Babel hampir secara tunggal dilekatkan pada timah, menjadikannya contoh klasik dari single resource economy. Namun, dua dekade terakhir telah dengan jelas menunjukkan tanda-tanda kelelahan model ini. Ketergantungan berlebihan pada satu komoditas telah membuat perekonomian daerah rentan terhadap gejolak pasar global dan tekanan ekologis, sebuah fenomena yang dalam literatur ekonomi sering disebut sebagai resource curse.
Konteks terkini semakin mempertegas urgensi untuk bertindak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024 mencatat pertumbuhan ekonomi Babel yang sangat lambat, hanya 0,77%, yang merupakan yang terendah dalam lebih dari 10 tahun terakhir (di luar periode Covid-19). Kontraksi pada Lapangan Usaha (LU) Pertambangan dan Penggalian sebesar 4,00% serta Industri Pengolahan sebesar 3,93% menjadi bukti nyata kerapuhan fondasi ekonomi lama. Namun, di tengah tantangan ini, muncul optimisme baru dengan pertumbuhan ekonomi yang mulai bergerak naik menjadi 4,09% pada triwulan II-2025 , didorong oleh upaya transformasi yang mulai digalakkan. Opini ini akan menganalisis pilihan strategis yang dihadapi Babel dengan merujuk pada data terbaru dan tren pembangunan berkelanjutan, untuk menjawab apakah daerah ini akan bertahan di jalur lama atau berani bertransformasi menuju ekonomi yang lebih beragam dan berkelanjutan.
Ketergantungan struktural Babel pada timah bukan hanya sekadar pilihan ekonomi, tetapi telah menjadi liabilitas. Masalah tata niaga timah yang berlarut-larut disebut sebagai penyebab utama dari pertumbuhan yang stagnan . Dampaknya sangat terasa pada pasar tenaga kerja, di mana 117 ribu tenaga kerja (15,30% dari total) menggantungkan hidupnya pada komoditas ini . Praktis, ketika sektor utama ini terganggu, seluruh perekonomian regional ikut terbelenggu, menciptakan efek riak yang meluas.
Selain kerentanan ekonomi, warisan dari aktivitas pertambangan yang tidak berkelanjutan adalah tekanan ekologis yang masif. Penelitian oleh Haryati & Dariah (2019) yang dikutip dalam sebuah kajian akademis, secara khusus mengangkat isu emisi karbon dan penyerapannya pada lahan bekas tambang timah di Babel, menyoroti dampak lingkungan yang perlu menjadi pertimbangan serius. Di sisi lain, tren global menuntut praktik ekonomi yang lebih hijau. Komitmen Indonesia pada tingkat nasional untuk pembangunan rendah karbon, sebagaimana tercermin dalam berbagai proyek Bappenas , serta aspirasi Belitung untuk menjadi carbon free island, menciptakan lingkungan kebijakan yang semakin tidak kondusif bagi model ekonomi ekstraktif konvensional.
Ketergantungan pada timah juga menciptakan kerentanan fiskal. Ketika sektor unggulan terkontraksi, penerimaan daerah dari sektor ini turut terdampak. Hal ini menyulitkan kapasitas fiskal pemerintah daerah untuk mendanai program-program pembangunan yang mendesak, termasuk investasi dalam diversifikasi ekonomi dan pemulihan lingkungan, yang justru sangat dibutuhkan untuk keluar dari ketergantungan tersebut.
BACA JUGA:Mengurai Hambatan Hilirisasi Timah: Gagasan Segar Dr Ichwan Azwardi dalam Buku Terbarunya
BACA JUGA:Dari Laut ke Cangkir Kopi: Membangun Sinergi Pariwisata dan UMKM Bangka Belitung
Di balik tantangan, Babel sesungguhnya memiliki peluang besar untuk bertransformasi dengan mengoptimalkan potensi lain yang dimilikinya. Pemerintah daerah telah mencanangkan pergeseran dari ekonomi berbasis pertambangan ke sektor kelautan dan perikanan, pertanian, dan pariwisata , yang sejalan dengan visi RPJMD 2025-2029 yang berfokus pada pariwisata berkualitas dan ekonomi biru.
Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan telah membuktikan diri sebagai penopang baru yang tangguh. Pada tahun 2024, lapangan usaha ini tumbuh 3,13%, menjadi sumber pertumbuhan tertinggi sepanjang tahun tersebut. Ekspor komoditas pertanian bahkan melonjak 33,83% menjadi 60 juta USD , menunjukkan daya saingnya di pasar global. Untuk mengakselerasinya, Pemerintah Provinsi Babel menekankan pentingnya hilirisasi, sebagaimana disampaikan oleh Gubernur Hidayat Arsani dalam Babel Economic Forum 2025 yang mengusung tema “Akselerasi Hilirisasi Perikanan Sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan”. Strategi ini mencakup:
1. Penguatan Investasi Hilir dengan mendorong investasi pada pabrik pengolahan, seperti CPO dan turunannya, serta pabrik pengalengan ikan untuk meningkatkan nilai tambah.
2. Dukungan Pembiayaan Perbankan oleh Bank Indonesia melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) berhasil mendorong penyaluran kredit ke sektor pertanian di Babel sebesar Rp 3,4 triliun pada 2024, tumbuh pesat 43,38%.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
