Presiden Prabowo Diharapkan Jadi Panglima Pemberantasan Mafia Tambang dan Hutan

Sabtu 05-10-2024,09:00 WIB
Reporter : Septi
Editor : Jal

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua, Maikel Primus Peuki, pembangunan yang dilakukan tanpa melibatkan masyarakat lokal telah menyebabkan konflik dan ketidakpuasan, serta mengancam keberlanjutan lingkungan, salah satunya persoalan deforestasi dan tercerabutnya hak ulayat masyarakat adat.

“Ada sekitar 5-6 perusahaan yang melakukan deforestasi dan menyingkirkan masyarakat dari ruang hidup mereka,” tuturnya.

Fenomena kerusakan hutan yang mulai bergeser ke Papua melalui penyebaran izin tambang, perkebunan sawit, HPH, HTI, THE, yang telah lama beroperasi dan bermunculan sejak pascapemekaran daerah otonomi baru di Papua.

“Potensi pertambangan perizinan industri ekstraktif bertambah dengan adanya kebijakan Daerah Otonomi Baru ( DOB) di Papua”, paparnya.

Ia menekankan bahwa pembangunan harus melibatkan masyarakat lokal dan mempertimbangkan kesejahteraan mereka. Tanpa adanya pendekatan yang inklusif, potensi konflik akan terus meningkat, dan kerusakan lingkungan akan semakin parah.

BACA JUGA:BPIP Apresiasi Dukungan Bank Mandiri untuk Paskibraka 2024

BACA JUGA:BPIP Siapkan Paskibraka Tampil Prima

Sementara itu, Dosen Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura, Aji Ali Akbar, menyoroti permasalahan stunting yang terjadi di daerah kaya SDA seperti Papua. Menurutnya, ironis bahwa daerah dengan kekayaan alam berlimpah justru memiliki angka stunting yang tinggi.

“Stunting terbesar terjadi di Papua, padahal di sana ada minyak, gas, emas, dan segala macam sumber daya alam,” ujarnya.

Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pengelolaan SDA dan kesejahteraan masyarakat setempat. Aji menegaskan bahwa walaupun regulasi di Indonesia sudah cukup baik, implementasinya yang masih jauh dari harapan menyebabkan dampak negatif bagi sebagian masyarakat.

Selain itu, Aji juga menyoroti masalah bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, terutama banjir dan tanah longsor.

“Bencana alam ini sebagian besar disebabkan oleh alih fungsi lahan yang terjadi puluhan tahun lalu,” jelasnya.

Menurutnya, pengelolaan SDA yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan menjadi salah satu penyebab utama bencana-bencana tersebut. Dalam pandangannya, salah satu solusi adalah penguatan penegakan hukum, terutama di bidang lingkungan hidup.

Di sisi lain, Bambang Hero Saharjo, Pakar Lingkungan dari IPB University, menyoroti korupsi besar-besaran yang terjadi dalam pengelolaan SDA, seperti kasus kerusakan lingkungan akibat pertambangan timah yang menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah.

“Kasus timah di Babel menyebabkan kerugian lingkungan sebesar Rp 271 triliun. Ini adalah salah satu contoh bagaimana SDA kita dikelola dengan sangat buruk,” ujarnya.

Bambang juga mengkritisi lemahnya etika penyelenggara negara dalam menangani SDA, di mana korupsi menjadi kendala utama dalam pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, regulasi yang ada sering kali bertumpuk dan justru saling beradu, tidak saling mendukung.

Kategori :