BACA JUGA:Imunisasi Polio di 33 Provinsi
Bisa jadi masyarakat yang menderita penyakit tertentu dengan mudah terkecoh. Apalagi yang sudah menderita penyakit menahun, kehadiran para “dokter-dokter AI” yang mempromosikan produk kesehatan tertentu ibarat “angin surga”.
Perkembangan teknologi AI pun tak luput dimanfaatkan untuk membelokkan informasi atau yang dikenal dengan istilah gangguan informasi. Wardle dan Derakhstan (2017) dan Ehrenfeld dan Barton (2019) membagi tiga jenis kekacauan informasi yakni misinformasi, disinformasi, dan malainformasi.
Apa yang membedakan ketiganya terletak pada niat. Misinformasi memiliki makna ketika informasi palsu dibagikan tetapi tidak bermaksud merugikan. Sama seperti misinformasi, disinformasi merupakan berita palsu yang dibagikan secara sengaja tapi bermaksud untuk menyebabkan kerugian. Kita mengenalnya sebagai hoaks.
Sementara malainformasi asli dibagikan untuk menyebabkan kerugian, sering kali dengan memindahkan informasi yang dirancang untuk tetap pribadi ke ruang publik.
Media sosial sebagai sarana untuk untuk membuat dan membagikan konten serta mengatur secara kolektif, menurut Albu dan Etter (2020), menjadi medium yang efektif dalam penyebaran gangguan informasi. Berbeda dengan produk jurnalistik yang menerapkan disiplin verifikasi ketat, konten di media sosial tak semuanya menerapkan disiplin verifikasi dan dapat dipertanggungjawabkan.
BACA JUGA:Perjuangan Sururi Merawat Ekosistem Pesisir Semarang
BACA JUGA:Mendes PDTT: Aspek Kultural Jadi Jati Diri Pendamping Desa
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat sepanjang 2023, terdapat 150 hoaks yang berkaitan dengan kesehatan. Meski lebih kecil dibandingkan hoaks politik, info palsu terkait kesehatan bisa berdampak besar pada ekonomi, politik, hingga kehidupan sosial masyarakat. Contohnya, saat seseorang tidak meyakini manfaat vaksin, maka yang terancam kesehatannya sebenarnya bukan hanya satu orang tapi bisa jadi dirasakan sebuah kelompok atau bahkan populasi.
Ancaman serius
Indonesia merupakan salah satu pengguna media sosial tertinggi di dunia. Data "We Are Social" pada 2024 menyebutkan sebanyak 139 juta penduduk Indonesia atau 49,9 persen dari populasi merupakan pengguna aktif media sosial.
Realitas itu dihadapkan dengan tingkat literasi Indonesia yang rendah. Data Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2022 menempatkan peringkat literasi siswa Indonesia berusia 15 tahun pada posisi 71 dari 81 negara dengan skor 359. Sementara menurut data UNESCO pada 2016, hanya 0,001 atau hanya satu orang dari 1.000 penduduk Indonesia yang memiliki minat baca. Bagaimanapun literasi berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis masyarakat.
Kemampuan berpikir kritis, menurut Ehrenfeld dan Barton (2019), diperlukan untuk menciptakan publik yang kuat secara kritis dan rasional. Kemampuan berpikir kritis juga diperlukan untuk menilai keakuratan suatu berita. Tanpa kemampuan berpikir kritis, maka seseorang akan mudah menelan mentah-mentah informasi palsu yang diterimanya.
Laporan Global Risks Report 2024 yang diluncurkan World Economic Forum pada Januari lalu, mengidentifikasi gangguan informasi yakni misinformasi dan disinformasi akan menjadi ancaman serius pada tahun-tahun yang akan datang seiring meningkatnya potensi penyalahgunaan AI dan penyebaran deepfake maupun konten yang dibuat oleh AI yang semakin masif serta sulitnya membedakan konten mana yang benar dan mana yang salah.
BACA JUGA:Kesiapan TNI Mendukung Pemerintah Dalam Membela Palestina
BACA JUGA:Dukungan Diplomasi Indonesia Untuk Palestina