Oleh: Tri Harmoko
(Reporter Babel Pos)
___________________________________________
BERBICARA krisis iklim secara mendalam belum menjadi konsumsi publik di Babel, apalagi peran PMI Babel dalam mitigasi krisis iklim. Krisis iklim yang detail memiliki proses dan dampak yang luar biasa bagi kehidupan, bukan sekedar bencana kekeringan, angin puting beliung, banjir yang biasa kita lihat di Babel.
Aksi mitigasi krisis iklim yang melibatkan peran Palang Merah Indonesia (PMI), terlebih PMI Babel terkesan sangatlah minim diketahui publik. Padahal, dampak krisis iklim yang terus terjadi dalam beberapa dekade telah dirasakan bagi kehidupan Babel dan ada peran besar PMI Babel di dalamnya.
Bagaimana posisi PMI Babel saat ini dalam perannya ikut menanggulangi krisis iklim?. Kita akan melirik sejenak ke belakang dengan melihat sedikit apa itu krisis iklim. Krisis iklim adalah istilah yang menggambarkan pemanasan global, perubahan iklim, dan dampaknya. Istilah ini digunakan untuk mendesak mitigasi perubahan iklim yang lebih agresif.
Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca yang terjadi secara konsisten dan bertahap dalam jangka waktu yang panjang. Perubahan iklim ini dapat disebabkan oleh berbagai kerusakan alam yang saling berhubungan. Kalau di Babel, sebenarnya tanda-tanda krisis iklim secara nyata telah terlihat seperti panas yang terik, kekeringan, angin puting beliung, dan banjir. Namun ada satu hal luput dari perhatian kita dari dampak krisis iklim di Babel, yaitu kesehatan, yang pada akhirnya berhubungan dengan peran PMI dalam mitigasi krisis iklim di Babel.
BACA JUGA:Gen-Z Lebih Lemah Dari Generasi Sebelumnya, Benarkah?
BACA JUGA:Keterampilan Esensial Seorang Akuntan agar Sukses di Era Digital
Kalau melihat spesifik dampak krisis iklim bagi kesehatan secara global salah satunya terjadi peningkatan wabah penyakit demam berdarah (DB). Dalam lima tahun terakhir, kasus DB per tahun di Indonesia berada pada rentang 100 ribu kejadian, ini dari laporan data Kementerian Kesehatan RI.
Dalam Buku “Data dan Informasi Dampak Perubahan Iklim Sektor Kesehatan Berbasis Bukti di Indonesia” (Kementerian Kesehatan RI, 2021) menegaskan perubahan iklim membuat kesehatan umat manusia kian rentan. Beberapa penyakit yang berpotensi meningkat adalah penyakit bervektor seperti DB, malaria, chikungunya, dan virus nile west. Pasien tersebut tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak.
Kita fokus pada DB yang hampir setiap dari di Babel kita mendengar ada pasien dirawat karena menderita DB. Data Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Dinkes Babel) tahun 2022 DB mencapai 990 orang, dengan 11 orang pasien meninggal dunia. Sementara itu pada tahun 2023, ada 1.253 kasus DB yang tersebar di Belitung 626, Bangka Barat 295, Kota Pangkalpinang 95, Bangka 77 kasus, Bangka Tengah 66, Bangka Selatan 53, dan Belitung Timur 41 . Sebanyak 19 dari 1.253 pasien DB di Babel meninggal dunia pada tahun 2023.
Di tahun 2024 baru tiga bulan saja dari Januari hingga Maret 2024 Dinkes Babel mencatat ada sekitar 819 kasus DB yang mana sebanyak 11 orang pasien DB meninggal dunia. Jumlah penderita DBD tahun 2024 di Babel tidak menutup kemungkinan akan lebih besar pada tahun 2024 ini dibanding tahun sebelumnya.
Kejadian DB tersebut secara tidak langsung terhubung akibat dampak krisis iklim yang terjadi di Babel. Apalagi baru-baru ini perkara korupsi timah yang naik ke persidangan menyebutkan adanya dampak kerusakan ekologis Babel dari pertambangan yang kalau diuangkan nilai kerugiannya mencapai Rp271triliun. Kerusakan ekologis Babel itu disebutkan hutan lindung yang dibabat, lubang galian timah yang menganga dan gersang. Hal ini sebenarnya sangat memperparah krisis iklim di Babel hingga menyentuh kesehatan yang buruk. Selanjutnya berimbas pada maraknya penyakit DB dampak ekologis Babel yang rusak itu.
BACA JUGA:Pemanfaatan IPAH Sebagai Solusi Kekurangan Air Bersih di Desa Saing