Selain itu, ribuan kolong yang belum direklamasi terus memakan korban. Sepanjang tahun2021-2023, tercatat ada 21 kasus tenggelam di kolong. Dari 15 korban yang meninggal dunia, 12 diantaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.
BACA JUGA:Segini Harga Mobil Listrik Pertama Chery di Indonesia
"Hingga saat ini, di Babel ada ribuan kolong yang belum di reklamasi. Berdasarkan dokumen IKPLHD tahun 2021, hasil inventarisasi data kolong oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Baturusa - Cerucuk pada tahun 2018,ml menyatakan jumlah kolong yang tersebar di semua wilayah Babel terdiri atas 12. 607 kolong dengan total luasan 15.579,747 Ha," bebernya.
Disisi lain, kandungan logam berat di air dan sedimen yang ada di sekitar daerah pertambangan turut mempengaruhi, dimana anak-anak menjadi rentan menderita penyakitkulit, diare, malaria, demah berdarah, bahkan akibat paparan logam berat atau radiasi dalam jangka panjang akan menyebabkan penyakit syaraf.
BACA JUGA:Cincin Pintar Samsung Siap Meluncur, Harga dan Spesifikasinya?
Walhi juga mencatat sepanjang 2021-2023, konflik satwa dengan manusia terus meningkat. Terganggunya habitat satwa akibat aktivitas ekstraksi sumberdaya alam menyebabkan banyak kasus serangan buaya. Ada 25 orang yang menjadi korban serangan buaya, 14 diantaranya meninggal dunia.
“Jika terus dilanjutkan (aktivitas ekstraktif), tinggal menunggu saja, akan lahir generasi ekstraktif di Babel yang abai akan kelestarian lingkungan, dan hanya berorientasipada ekonomi," kata Yaknes Yuliana.(jua)