BACA JUGA:KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Empat)
Dalam Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1851 dijelaskan tentang kunjungan residen Bangka ke Distrik Belinjoe untuk melakukan inspeksi dan menangani persoalan pemberontakan, residen sempat tinggal di Belinjoe pada bulan Oktober 1850 dan bulan Januari 1851. (Kemungkinan besar residen Bangka tinggal di komleks perumahan yang sekarang terletak di Jalan Suramenggala (jalan Curam) yang oleh orang Belinyu dalam dialek Hakka disebut dengan “Holan Kai” yang artinya “kampung Belanda”). Residen Bangka mengunjungi beberapa daerah pertambangan termasuk menyeberang ke distrik Jebus melalui Teluk Kelabat dan melaporkan, bahwa telah terjadi penurunan produksi Timah pada tahun 1851 Masehi yang hanya mencapai 84.988 pikul. Penurunan produksi Timah tersebut antara lain disebabkan adanya kemarau panjang dan kerusuhan (perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir tahun 1848-1851 Masehi).
BACA JUGA:BRIEVENBUS DI PANGKALPINANG
Untuk meningkatkan produksi Timah di pulau Bangka, dalam laporan residen juga dituliskan, bahwa pada tahun 1850 Masehi telah didatangkan sebanyak 349 orang Cina totok ke pulau Bangka yang kemudian disebarkan di pertambangan. Tampaknya pengangkutan orang Cina ini berkurang jumlahnya karena mereka pada waktu yang bersamaan bisa juga mendapatkan pekerjaan dengan persyaratan yang lebih baik dan mudah di pertambangan-pertambangan yang ada di Malaka daripada di pulau Bangka. Pekerja-pekerja tambang Cina totok tersebut juga disebar di tambang-tambang timah di Distrik Belinjoe termasuk ke Tambang Enam atau dalam bahasa Cina dialek Hakka disebut Liukfuntheeuw (Belanda: Lafonteo/Lakfoetoe). Pada saat ini diketahui kebanyakan masyarakat yang tinggal di Liukfuntheeuw, Lumut Belinyu, kebanyakan menggunakan shiang/klan/marga Liong, Cu, Hiu, Cin, Chie, Ciu dan Bong yang merupakan shiang atau marga dari orang-orang Hakka.
BACA JUGA:Rumah Sakit DKT dan DKR
Berdasarkan catatan (Setiati, 2010:31-32), pada akhir abad 19 dan awal abad 20 Masehi, distrik Belinjoe merupakan wilayah dengan deposit timah yang sangat besar. Pada distrik Belinjoe terdapat sarana Rel Loko atau jalan Trem sepanjang 86 km dengan 27 Loko dan 358 gerbong pengangkut, serta Belinyu memiliki pembangkit listrik kapasitas besar yang mengaliri kebutuhan listrik hampir ke seluruh pulau Bangka. Loko dengan rangkaian gerbongnya merupakan pengganti kereta dorong Cina Kaikungcha (Melayu Bangka: Kerito Surong, Eropa:Piepkar) yang tidak efektif lagi sebagai sarana pengangkutan, terutama untuk pengangkutan biji Timah dari tambang darat ke pusat-pusat peleburan dengan tekhnologi oven vlanderen (oven berpendingin air) yang dikenal masyarakat Bangka dengan istilah “puput”.
BACA JUGA:Gunong Muntai (Mountain)
Untuk meningkatkan produksi Timah dan mendekatkan rentang kendali pemerintahan dan keamanan, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor 4, tanggal 28 Maret Tahun 1851, Distrik Sungailiat-Merawang yang pada awalnya disatukan dalam satu distrik, dipisahkan menjadi Distrik Merawang dan Distrik Sungailiat. Akibat Keputusan pemisahan tersebut, sejak Tahun 1851 Masehi terdapat sembilan distrik di pulau Bangka yaitu distrik Muntok, distrik Belinjoe, distrik Jeboes, distrik Sungaiselan, distrik Merawang, distrik Sungailijat, distrik Pangkalpinang, distrik Koba dan distrik Toboali. Selanjutnya pada Tahun 1855, diketahui jumlah distrik di pulau Bangka kemudian bertambah menjadi Sepuluh distrik dengan dipisahkannya kepulauan Lepar dari distrik Toboali menjadi distrik tersendiri dengan nama distrik Kepulauan Lepar (Lepar eilanden district). Sepuluh distrik di pulau Bangka kemudian dibagi menjadi Tiga Puluh satu underdistrict. Pada district Blinjoe terdapat underdistrict Belinjoe dan underdistrict Panji Sekah.
BACA JUGA:Pelirang Basah
Dari Sepuluh distrik yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda di pulau Bangka terdapat sekitar 250 Parit atau Tambang Timah yang tentu saja menghasilkan Timah serta mendatangkan jutaan gulden bagi kemakmuran negeri Belanda. Sebagai contoh kecil, berdasarkan data dari Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1851, sejak tahun 1844 Masehi sampai dengan tahun 1851 Masehi atau sekitar Delapan tahun dan pada antara tahun tersebut merupakan masa-masa sulit bagi pemerintah Hindia Belanda karena harus menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Depati Amir, telah dihasilkan sejumlah 564.589 pikul Timah atau setara dengan 33.875.340 kilogram Timah. Berdasarkan perkiraan dan perhitungan dari berbagai sumber, total selama kekuasaan Hindia Belanda di pulau Bangka telah dikeruk kekayaan Timah sebesar sekitar 16.366.370 pikul atau 981.982.200 kilogram atau 981.982 ton. Jumlah ini belum termasuk produksi Timah dari pulau Belitung dan produksi Timah masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) sampai tahun 1799 Masehi (Elvian, 2012:84). Secara langsung kekayaan timah dari pulau Bangka telah membawa kemakmuran, dan kekayaan bagi kerajaan Belanda. Komoditas Timah menurut catatan Heidues (1992:128-129) pada pertengahan abad ke 19 merupakan komoditas ekspor terbesar ketiga setelah kopi dan gula yang memberikan keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda. Timah Bangka telah menjadi tambang emas: di tahun 1926, sumber BTW memperkirakan Bangka mendatangkan keuntungan kasar f 400 juta dalam sembilan puluh tahun pertama (1820-1910) dan f 350 juta dalam lima belas tahun berikutnya (1911-25).
BACA JUGA:HAK ATAS HARTA ABERCROMBY
Toponim (penamaan geografi tempat) seperti Liukfuntheeuw (Belanda: Lafonteo/Lakfoetoe) merupakan karya intelektual sekelompok masyarakat dalam menyatakan suatu makna tertentu. Sejak kapan sebuah nama tempat itu muncul, secara pasti sulit untuk ditentukan. Realitas dinamika kehidupan masyarakat masa lalu disamping meninggalkan monument hidup (living monument) berupa bangunan sejarah dan budaya juga telah meninggalkan jejak dalam bentuk nama tempat yang menggambarkan tentang kondisi tempat tersebut dari sudut filosofi, sejarah, budaya, tatanan sosial ataupun vegetasi dan hewan pada masa itu. Menelisik sisi penataan kampung Liukfuntheeuw (Belanda: Lafonteo/Lakfoetoe) atau kampung Gedong dan bentuk arsitektur bangunan rumah di kampung Gedong saat ini, sangat tampak, bahwa perkampungan dibangun dengan pola arsitektur Hakka yang mendapat pengaruh lokal pulau Bangka. Pada umumnya rumah di kampung Liukfuntheeuw (Belanda: Lafonteo/Lakfoetoe) atau kampung Gedong memiliki struktur yang hampir sama yaitu pintu utama rumah terletak di tengah, diapit dua jendela di sisi kiri dan kanannya serta dilengkapi dengan lubang angin dengan ornamen geometris. Pada ruang pertama rumah biasanya diletakkan altar leluhur atau dewa-dewi dan di samping kiri dan kanannya terdapat pintu yang menghubungkan ke ruangan berikutnya. Di samping rumah induk biasanya rumah dilengkapi dengan halaman tengah berupa ruang terbuka dalam bangunan (inner-court) dan bagian belakang rumah yang luas. Antara bangunan yang satu dengan bangunan yang lainnya dihubungkan oleh kongliong.***