GURU Besar Universitas Indonesia (UI) Profesor Hikmahanto Juwana meminta Kementerian Luar Negeri mengusir perwakilan PBB di Indonesia.
Hikmahanto Juwana menilai seharusnya PBB menghormati yurisdiksi domestik Indonesia. Bukan malah mengkritisi KUHP baru.
BACA JUGA: Warning dari BMKG untuk Seluruh Daerah, Desember Puncak Hujan
"Terkait pernyataan Perwakilan PBB, Kemlu sepatutnya memanggil Kepala Perwakilan PBB di Indonesia. Bila perlu lakukan persona non grata (pengusiran, Red) pejabat tersebut dari Indonesia," tegas Hikmahanto Juwana dalam keterangannya pada Jumat, 9 Desember 2022 lalu.
Hikmahanto Yuwana menegaskan kritik itu tidak patut disampaikan oleh Perwakilan PBB di Indonesia.
Suara PBB, lanjutnya, dapat disampaikan hanya oleh perwakilannya. Yakni dari Dewan Keamanan, Majelis Umum, Dewan HAM, Sekjen PBB, serta organ-organ tambahan.
BACA JUGA: Top Skor Piala Dunia 2022 Qatar, Messi Hantui Mbappe
"Jadi bukan dari suara pejabat Perwakilan PBB di Indonesia," paparnya.
Terkait hal itu, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI bakal memanggil perwakilan PBB. Rencananya pemanggilan dilakukan pekan depan.
Hal itu disampaikan Juru bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah. Menurutnya, Kemlu sudah menyusun rencana pemanggilan. Namun, belum diketahui tanggal pastinya.
BACA JUGA: Informasi Pejabat Kemendagri untuk Guru Lulus PG, Meski Tanpa Formasi, Punya Harapan
Seperti diketahui, PBB mengkritisi KUHP baru yang telah disahkan DPR beberapa hari lalu.
"PBB) seraya menyambut baik modernisasi dan pemutakhiran kerangka hukum Indonesia, mencatat dengan keprihatinan adopsi ketentuan tertentu dalam KUHP yang direvisi yang tampaknya tidak sesuai dengan kebebasan dasar dan hak asasi manusia, termasuk hak atas kesetaraan," kata lembaga tersebut dalam siaran pers yang dilansir di situs resmi PBB Indonesia, pada Kamis, 8 Desember 2022.
Ada beberapa hal yang disorot PBB. Seperti masalah kesetaraan dan privasi yang menjadi catatan keprihatinan PBB. Selain itu soal kebebasan beragama, jurnalisme, dan seksual atau gender.
PBB mengkhawatirkan beberapa pasal dalam KUHP yang direvisi tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia. Terutama terkait hak asasi manusia.