Penggunaan teknologi tungku atau Tanur Cina, kadang-kadang masih juga digunakan ketika di pulau Bangka mengalami musim kemarau dan kekurangan air. Untuk menjaga agar hutan sebagai sumber kayu untuk membuat arang tetap terjaga, maka pemerintah Belanda mulai menganjurkan kepada orang pribumi Bangka untuk berkebun Lada atau tanaman Karet daripada hanya menggantungkan hidup dari berladang berpindah atau berume yang menggunakan teknologi 4t (tebang, tunu/tembung atau bakar, tanam dan tinggal). Oleh sebab itu kemudian pulau Bangka di samping menghasilkan Timah juga menghasilkan Lada Putih dan Getah Karet atau Getah Perca.
Di samping mempekerjakan kuli-kuli tambang dari Cina sebagai pekerja di tambang Timah, pemilik kongsi-kongsi (berdasarkan Beknopte Encyclopaedie van Nederlansche Oost-Indie, “kongsi” adalah kata Cina untuk mengidentifikasikan sebuah firma, persekutuan, atau perkumpulan dengan makna yang sangat luas), pertambangan juga mempekerjakan orang Darat atau orang Gunung pribumi Bangka.
Disamping bekerja dari berladang berpindah atau berume, mengolah ladang, orang Darat pribumi Bangka juga bekerja sebagai pengumpul hasil hutan, menebang kayu, membuat arang, mengangkut timah atau menjadi pemikul barang. Kemudian kaum perempuan orang Darat atau orang Gunung bekerja menjual pakaian, buah-buahan dan makanan kecil untuk keperluan pekerja-pekerja tambang Timah di Parit Penambangan.
Setelah Tahun 1870 Masehi, kebanyakan kongsi-kongsi penambangan Timah di pulau Bangka telah menggunakan oven pendingin air (oven vlaanderen) dalam melebur biji timah. Setidaknya pada masa itu telah dioperasikan paling sedikit 42 tungku peleburan Timah di sembilan distrik penambangan di pulau Bangka, dan kawasan atau wilayah tempat peleburan biji timah dengan menggunakan oven pendingin air (oven vlaanderen) biasanya diberi nama dengan sebutan toponimi kampung “Puput” dan hampir diseluruh distrik di pulau Bangka terdapat kampung yang bernama “Puput”.***