Upaya perundingan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda menunjukkan, bahwa pasukan militer Belanda kewalahan dalam menghadapi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Depati Bahrin beserta Batin Tikal dan pejuang Bangka lainnya, di samping itu militer Belanda ingin lebih berkonsentrasi dalam menghadapi perlawanan rakyat di pulau Jawa yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro pada Tahun 1825-1830 Masehi (Elvian, 2006:13).
Tawaran perundingan damai kemudian diterima Depati Bahrin karena Depati Bahrin memikirkan kepentingan rakyat Bangka yang lebih besar yaitu akibat berlarut-larutnya peperangan akan menyebabkan perladangan terlantar dan rakyat Bangka terancam kelaparan, sebab yang menjadi pasukan dalam peperangan adalah rakyat Bangka yang umumnya adalah petani peladang.
Walaupun perlawanan yang dilakukan Depati Bahrin, Batin Tikal dan pejuang Bangka lainnya berhenti akan tetapi kebencian rakyat Bangka terhadap Belanda tetap membara dan pengaruh perlawanan Bahrin dan pengikutnya menjadi modal semangat bagi rakyat Bangka untuk tetap berjuang melawan penjajah Belanda.
Pemerintah Belanda berusaha keras membatasi setiap jengkal pengaruh Bahrin. Mereka melakukan berbagai cara, termasuk dengan saling menyeru dan mengingatkan untuk menghilangkan pengaruh Bahrin yang terlanjur mengakar di beberapa wilayah di Bangka termasuk kecurigaan akan muncul perlawanan dari putera sulung Bahrin yaitu Depati Amir. (***/Bersambung)