Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
URANG Bangka itu tipikalnya ada 2, Ngelawan atau Ngelawak! Urang Bangka itu, bisa pakai otak, tapi kalau sudah “gerigit ati” ia berperilaku otak-otak. Pemimpin itu harus paham tipikal orang Bangka, kalau tidak, maka pasti jadi bahan olokan.
Minggu lalu, sekitar hampir 1 bulan saya pulang ke Jawa Timur. Kenapa saya sebut “pulang”?, karena bagi saya beberapa daerah di Jawa Timur yakni Malang, Kediri, Nganjuk, Kertosono, Jombang dan Blitar seperti tanah kelahiran sendiri.
14 tahun bergaul dan hidup di Pulau Jawa dan sudah 14 tahun juga saya hidup dan bergaul di tanah kelahiran sendiri, Pulau Bangka.
Tidak hanya persoalan Bahasa, Adat dan Budaya, ada banyak perbedaan tipikal (perilaku) masyarakat Sumatera dan masyarakat Jawa, inilah salah satu kekayaan Tuhan yang diberikan kepada Bangsa Indonesia yang harus dijaga dengan baik, asyik dan benar.
2008, tepat 4 hari setelah melangsungkan pernikahan, awal pertama saya kembali ke tanah kelahiran (Pulau Bangka) dan menyatakan menetap disini. Jangankan isteri yang asli Jawa, saya yang asli Bangka, awal hidup dan bergaul di tanah kelahiran sendiri rada-rada shock.
Bahkan sempat menyatakan tidak betah dan ingin kembali ke Jawa Timur sebab merasa jauh lebih bias diterima dan asyik dalam banyak hal.
Ternyata disini, banyak hal yang tidak saya pahami, banyak hal yang tidak sesuai dengan asumsi, banyak hal yang membuat saya kaget sosial.
Tapi seiring perjalanan waktu, setelah banyak bergaul dengan para orangtua, tokoh-tokoh yang memahami Bangka Belitung, bahkan akhirnya hampir seluruh Desa dan Dusun di Pulau Bangka dan Pulau Belitung, saya datangi serta komunikasi langsung dengan masyarakatnya.
Apa yang saya dapatkan? Urang Bangka itu unik, asyik, ceria, lucu, ngeselin, ngangenini, penuh dengan romantika tapi tak pernah hilang tawa.
Masyarakat Bangka adalah masyarakat yang sangat egaliter. Berbeda dengan masyarakat Pulau Jawa yang terdidik oleh Kerajaan, tata karma, norma yang tinggi, sedikit-sedikit Pamali, hormat pada leluhur dan penuh pengabdian pada atasannya.
Sedangkan orang Bangka, dalam sejarahnya bukanlah tipikal pengabdi sebab tak terdidik oleh kerajaan, semua orang dianggap sama rata sebab ada istilah “sama-sama makan nasi”.
Urang Bangka tak terlalu peduli jabatan sebab ada istilah “Dak sapa negah ikak nek jadi raje asal jangan ngeraje”.
Tak peduli juga dengan nasab (keturunan) maupun kepemilikan (harta) sebab ada istilah “Ko dak makan kek ikak”.
Masyarakat Bangka adalah tipikal masyarakat yang sangat besar kedaulatan atau kemerdekaan dirinya. Ia boleh punya atasan, tapi bukan berarti “Oke Boss” “Siap Ndan” atau menghambakan diri pada atasan.