Lalu Wilayah Penambangan Rakyat (WPR) yang sudah diwacanakan Presiden RI Joko Widodo saat ke Babel beberapa tahun silam hingga saat ini belum juga diwujudkan oleh Kementerian ESDM.
"Harusnya kelola tambang rakyat yang diberikan kepada rakyat (WPR). Kita punya, IUP PT Timah yang tidak dikelola lagi yang tidak ekonomis dan efektif ini bisa dikembalikan ke Pemda untuk dibagikan ke rakyat. Ini yang belum terealisasikan," kata Dodot.
Namun sebaliknya, sindir Dodot, pemerintah dinilai masih berkutat dengan penatakelolaan pertimahan, Padahal menurutnya penataan timah itu sudah diatur oleh peraturan, walau di pertengahan jalannya ada hal yang kadang-kadang melangkahi peraturan itu sendiri. Seperti halnya pembentukan Satgas dan surat edaran mewajibkan smelter melaporkan asal usul biji timah.
"Tata kelola apa lagi, harusnya kita pikirkan ke depan itu kita mau apa. Provinsi ini dapat apa dan masyarakat dapat apa, bisa enggak daya beli masyarakat ini menjadi bagus.
Mengenai aturan main, saya pikir sudah ada kok, tidak ada aturan yang tidak terlaksana di Babel. Semua terlaksana. Yang penting bumi ini kita kelola dengan baik dan bijaksana," ungkapnya.
Sementara Plt Ketua DPRD Babel Adet Mastur mengaku sepakat dengan yang disampaikan AITI. Informasi ini pun sesuai dengan harapan pihaknya menggelar pertemuan ini. "Tujuannya untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan pertambangan timah di Babel," ungkapnya.
Beberapa hal disampaikan, kata Adet, akan segera ditindaklanjuti pihaknya dengan memanggil atau mendatangi langsung pihak yang disebutkan. Sehingga akhirnya pihaknya mendapatkan kesimpulan untuk dibuatkan rekomendasi ataupun produk hukum lainnya untuk pemerintah.
"Namun yang jelas kita ingin ada kenaikan royalti timah dari 3 persen ini," pungkasnya. (jua)