Idul Adha Momen Mengakhiri Jiwa Kebinatangan Dalam Diri

Sabtu 09-07-2022,11:20 WIB
Reporter : Reza hanafi
Editor : Babelpos

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus. 

(alkautsar : 1-3) 

Secara bahasa, kata “kurban” berasal dari bahasa Arab qaraba-yuqaribu qurbanan-qaribun, yang berarti “dekat” atau “mendekatkan”. Para ulama  mengartikannya sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah,  karenanya kurban hanya ditujukan kepada Allah semata (taqwa kepada Allah).  

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan  dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya  kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada  orang-orang yang berbuat baik. (alhaj. 37)

Selain untuk mendekatkan diri kepada Allah, kurban juga memiliki fungsi untuk  mendekatkan diri kepada sesama manusia (fungsi sosial). Sejatinya berkurban  memiliki pesan moral, yakni mendekatkan diri kepada saudara-saudara kita  yang kekurangan. Karena dalam kurban terselip semangat untuk berbagi  kepada orang lain agar rizki yang kita miliki semakin terberkahi. Dalam  pengertian yang lain, kurban adalah kepasrahan hati untuk bukan saja rela  berbagi kelebihan rizki, tetapi lebih dari itu, kurban adalah keikhlasan untuk  sesamanya. Karena tidak peduli seberapa kaya atau tingginya pangkat yang  disandang oleh si pemberi kurban, mereka memakan daging yang sama dengan  yang ia bagikan kepada orang-orang lain. Hal ini merupakan pertanda bahwa  berkuban adalah berbagi, sama-sama menikmati dan mensyukuri. Inilah yang  disebut dengan semangat al-ma’un, semangat untuk saling membantu, berbagi  dan memberi dengan barang-barang yang terbaik. Arti asal dari al-Ma’un  adalah manfaat dari segala sesuatu. Dalam bahasa arab digunakan dengan  pengertian air hujan dan awan. 

Bila dihubungkan, maka al-Ma’un merupakan sumber daya yang bermanfaat. Al-Ma’un merupakan tolong-menolong atau kerjasama dengan harta (mal) dan  jasa (manfa’ah). Dan sebagaimana pesan dalam Al-Quran surat al-ma’un  bahwasannya nilai sholat sesorang sangatlah tercermin dalam perilaku sosial  pribadi orang tersebut. Bahkan dikatakan celakalah ibadah sholat kita jika kita  tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai sholatnya dengan kemampuan  untuk berbagi, tolong menolong dengan barang-barang yang berguna. 

 Karenanya tidak berlebihan kiranya jika kita menempatkan ajaran utama yang  terletak pada kurban adalah tentang kesederhanaan dan kemampuan untuk  saling menolong dengan sesama (al-ma’un). Seseorang yang melaksanakan  kurban tidak serta merta menjadi orang yang lebih mulia di mata sesama,  karena justru dengan berkurban kita sedang memposisikan diri setara dengan  orang lain; kita berbagi dan menikmati rizki itu secara bersama-sama. karena  itu, tidak tepat kiranya jika menggunakan kurban sebagai momen untuk  meninggikan kesombongan. Semangat kesederhanaan seperti yang tertuang  dalam ritual kurban harus pula dijadikan patokan agar kita tidak gampang  berlebihan.

Kesederhanaan adalah barang “mewah” di negeri ini, sekarang mencari  pemimpin yang hidup dalam kesederhanaan laksana mencari jarum dalam  tumpukan jerami. Para pemimpin di Republik ini dari segala tingkatan justru  mempertontonkan kemewahan dalam kehidupan. Sulit mencari keteladanan  dari para elit politik sekarang ini, padahal mereka mungkin setiap tahun  membagikan hewan kurban, tetapi semua itu seakan kosong dari nilai-nilai  keteladanan. Seakan para pemimpin sekarang ini mengamalkan ilmu aji  mumpung, mumpung berkuasa maka segala hal dapat diperbuat. Hukum  dikangkangi, ekonomi dikebiri, kehidupan social masyarakat terbelenggu. Oleh  siapa? Oleh mereka, segelintir manusia tamak, rakus yang meguasai segala  kendali. Mereka memegang kendali pusat-pusat ekonomi bangsa, mereka  mampu membeli hukum dan mengendalikan pengambil kebijakan, dan mereka  mampu mengatur roda kehidupan sosial Mereka kaum Oligarki! Meminjam  istilah Chusnul Mar’iyah (2019) Oligarki politik menghasikan para “badut”,  oligarki ekonomi menghasilkan para “bandar” dan oligarki kehidupan social  menghasilkan para “bandit”. Lengkaplah sudah, jika kita mendiamkan semua  ini maka bangsa kita akan dipimpin oleh 3 B (Badut, Bandar, dan Bandit). 

Bercermin pada para pendahulu kita, para pendiri dan pejuang republic ini  rasanya kita malu. Coba lihat sejarah mereka yang berhamburan mutiara  kehidupan. Kita malu dan sekaligus rindu dengan Mr. Syafrudin Prawiranegara  menteri keuangan di zaman Bung Karno tidak mampu membeli popok untuk  bayinya, kita malu dan sekaligus rindu dengan Bapak M. Natsir perdana menteri  yang menggunakan jas tambal dan mengayuh sepeda ontel ke rumah  kontrakannya, kita malu dan sekaligus rindu dengan Bung Hatta wakil presiden  yang tak mampu membeli sepatu idamannya hingga akhir hayatnya, kita malu  dan rindu sosok Abdurahman Baswedan pejuang kemerdekaan sekaligus wakil  menteri muda pada Kabinet Syahril yang harus meminjam telpon tetangga, kita  juga malu dan rindu dengan kesederhanaan Kapolri Jendral Hoegeng yang tak  mau menempati rumah dinasnya sebagai kapolri kala itu dan memilih tetap  tinggal di rumah pribadinya, dan kitapun sangat malu sekaligus merindukan  sosok pejuang sekaligus ulama K.H Agus Salim yang hidup penuh  kesederhanaan tinggal dalam rumah yang sempit satu kamar dengan istri dan  8 orang anak-anaknya dan berjualan minyak tanah eceran untuk menopang  kehidupan keluarganya.

Saudaraku..mereka para pemimpin republic ini, pendiri bangsa ini,  mengajarkan kepada generasi kita untuk hidup dalam kesederhanaan, mereka  rela hidup dalam ketidaknyamanan untuk kebaikan lebih banyak bagi orang  lain. Mereka mengajarkan bahwa jalan kepemimpinan adalah jalan  penderitaan. “memimpin adalah menderita” (Leiden is Lejden) begitu kata K.H.  Agus Salim. Dan masih banyak teladan dalam kepemimpinan khususnya di  persyarikatan kita Muhammadiyah, yang 2 hari lalu tepatnya tanggal 8  Dzulhijah genap berusia 113 tahun. Banyak sosok teladan dari pimpinan  Muhammadiyah yang dapat kita jadikan uswah dalam kehidupan kita sebagai 

pengurus dan anggota Muhammadiyah khususnya. Kesederhanaan para tokoh  tersebut merupakan mutiara bagi kita. Siapa yang tidak mengenal K.H. A.R.  Fakhrudin (Pak AR) ketua Umum PP Muhammadiyah selama 28 tahun (1968- 1990), beliau seorang tokoh yang sangat dikenal namun beliau tidak malu  berjualan bensin eceran menambah penghasilan untuk menopang  kehidupannya. Tidak pernah minta dilayani secara berlebihan walaupun beliau  bisa saja menggunakan kedudukannya untuk minta dilayani dengan beragam,  dan kekayaan amal usaha yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Beliau berprinsip  memimpin adalah melayani! 

Para ulama juga mengartikan bahwa perintah Allah untuk berkurban dengan  menyembelih binatang memiliki makna yang lebih penting dari sekedar bagi bagi daging, prosesi penyembelihan binatang merupakan simbolisasi untuk  penyembelihan terhadap sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri kita,  seperti rakus, liar, ingin menang sendiri, dan bahkan buas membunuh.  Karenanya, berkurban adalah mengakhiri sifat kebinatangan. Itulah sebabnya  mengapa Rasulullah saw menganjurkan untuk menyembelih dengan tangan  kita sendiri hewan kurban kita. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh  Imam Bukhari dari Anas bin Malik “Nabi saw berkurban dengan dua ekor  kambing gemuk dan bertanduk, saya melihat Nabi saw meletakan kedua  kakinya diatas pundak kambing tersebut, kemudian membaca basmalah,  takbir, dan menyembelih dengan tangannya sendiri”  

Jamaah idul adha yang dimuliakan Allah…, 

Sifat hewaniah atau kebinatangan dalam diri manusia yang tercermin pada  perilaku kaum oligarki sebagaimana penejelasan di atas harus 

disembelih/dipotong dengan cara mengoptimalkan fungsi spritualitas hati,  mata, dan telinga manusia sehingga tidak terjerumus kedalam neraka jahanam  bahkan menjadi bahan bakarnya. Sebagaimana firman Allah swt (Al-A’raf 179):  

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka  mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai  mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka  mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai  binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. 

Kategori :