Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
(alkautsar : 1-3)
Secara bahasa, kata “kurban” berasal dari bahasa Arab qaraba-yuqaribu qurbanan-qaribun, yang berarti “dekat” atau “mendekatkan”. Para ulama mengartikannya sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah, karenanya kurban hanya ditujukan kepada Allah semata (taqwa kepada Allah).
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (alhaj. 37)
Selain untuk mendekatkan diri kepada Allah, kurban juga memiliki fungsi untuk mendekatkan diri kepada sesama manusia (fungsi sosial). Sejatinya berkurban memiliki pesan moral, yakni mendekatkan diri kepada saudara-saudara kita yang kekurangan. Karena dalam kurban terselip semangat untuk berbagi kepada orang lain agar rizki yang kita miliki semakin terberkahi. Dalam pengertian yang lain, kurban adalah kepasrahan hati untuk bukan saja rela berbagi kelebihan rizki, tetapi lebih dari itu, kurban adalah keikhlasan untuk sesamanya. Karena tidak peduli seberapa kaya atau tingginya pangkat yang disandang oleh si pemberi kurban, mereka memakan daging yang sama dengan yang ia bagikan kepada orang-orang lain. Hal ini merupakan pertanda bahwa berkuban adalah berbagi, sama-sama menikmati dan mensyukuri. Inilah yang disebut dengan semangat al-ma’un, semangat untuk saling membantu, berbagi dan memberi dengan barang-barang yang terbaik. Arti asal dari al-Ma’un adalah manfaat dari segala sesuatu. Dalam bahasa arab digunakan dengan pengertian air hujan dan awan.
Bila dihubungkan, maka al-Ma’un merupakan sumber daya yang bermanfaat. Al-Ma’un merupakan tolong-menolong atau kerjasama dengan harta (mal) dan jasa (manfa’ah). Dan sebagaimana pesan dalam Al-Quran surat al-ma’un bahwasannya nilai sholat sesorang sangatlah tercermin dalam perilaku sosial pribadi orang tersebut. Bahkan dikatakan celakalah ibadah sholat kita jika kita tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai sholatnya dengan kemampuan untuk berbagi, tolong menolong dengan barang-barang yang berguna.
Karenanya tidak berlebihan kiranya jika kita menempatkan ajaran utama yang terletak pada kurban adalah tentang kesederhanaan dan kemampuan untuk saling menolong dengan sesama (al-ma’un). Seseorang yang melaksanakan kurban tidak serta merta menjadi orang yang lebih mulia di mata sesama, karena justru dengan berkurban kita sedang memposisikan diri setara dengan orang lain; kita berbagi dan menikmati rizki itu secara bersama-sama. karena itu, tidak tepat kiranya jika menggunakan kurban sebagai momen untuk meninggikan kesombongan. Semangat kesederhanaan seperti yang tertuang dalam ritual kurban harus pula dijadikan patokan agar kita tidak gampang berlebihan.
Kesederhanaan adalah barang “mewah” di negeri ini, sekarang mencari pemimpin yang hidup dalam kesederhanaan laksana mencari jarum dalam tumpukan jerami. Para pemimpin di Republik ini dari segala tingkatan justru mempertontonkan kemewahan dalam kehidupan. Sulit mencari keteladanan dari para elit politik sekarang ini, padahal mereka mungkin setiap tahun membagikan hewan kurban, tetapi semua itu seakan kosong dari nilai-nilai keteladanan. Seakan para pemimpin sekarang ini mengamalkan ilmu aji mumpung, mumpung berkuasa maka segala hal dapat diperbuat. Hukum dikangkangi, ekonomi dikebiri, kehidupan social masyarakat terbelenggu. Oleh siapa? Oleh mereka, segelintir manusia tamak, rakus yang meguasai segala kendali. Mereka memegang kendali pusat-pusat ekonomi bangsa, mereka mampu membeli hukum dan mengendalikan pengambil kebijakan, dan mereka mampu mengatur roda kehidupan sosial Mereka kaum Oligarki! Meminjam istilah Chusnul Mar’iyah (2019) Oligarki politik menghasikan para “badut”, oligarki ekonomi menghasilkan para “bandar” dan oligarki kehidupan social menghasilkan para “bandit”. Lengkaplah sudah, jika kita mendiamkan semua ini maka bangsa kita akan dipimpin oleh 3 B (Badut, Bandar, dan Bandit).
Bercermin pada para pendahulu kita, para pendiri dan pejuang republic ini rasanya kita malu. Coba lihat sejarah mereka yang berhamburan mutiara kehidupan. Kita malu dan sekaligus rindu dengan Mr. Syafrudin Prawiranegara menteri keuangan di zaman Bung Karno tidak mampu membeli popok untuk bayinya, kita malu dan sekaligus rindu dengan Bapak M. Natsir perdana menteri yang menggunakan jas tambal dan mengayuh sepeda ontel ke rumah kontrakannya, kita malu dan sekaligus rindu dengan Bung Hatta wakil presiden yang tak mampu membeli sepatu idamannya hingga akhir hayatnya, kita malu dan rindu sosok Abdurahman Baswedan pejuang kemerdekaan sekaligus wakil menteri muda pada Kabinet Syahril yang harus meminjam telpon tetangga, kita juga malu dan rindu dengan kesederhanaan Kapolri Jendral Hoegeng yang tak mau menempati rumah dinasnya sebagai kapolri kala itu dan memilih tetap tinggal di rumah pribadinya, dan kitapun sangat malu sekaligus merindukan sosok pejuang sekaligus ulama K.H Agus Salim yang hidup penuh kesederhanaan tinggal dalam rumah yang sempit satu kamar dengan istri dan 8 orang anak-anaknya dan berjualan minyak tanah eceran untuk menopang kehidupan keluarganya.
Saudaraku..mereka para pemimpin republic ini, pendiri bangsa ini, mengajarkan kepada generasi kita untuk hidup dalam kesederhanaan, mereka rela hidup dalam ketidaknyamanan untuk kebaikan lebih banyak bagi orang lain. Mereka mengajarkan bahwa jalan kepemimpinan adalah jalan penderitaan. “memimpin adalah menderita” (Leiden is Lejden) begitu kata K.H. Agus Salim. Dan masih banyak teladan dalam kepemimpinan khususnya di persyarikatan kita Muhammadiyah, yang 2 hari lalu tepatnya tanggal 8 Dzulhijah genap berusia 113 tahun. Banyak sosok teladan dari pimpinan Muhammadiyah yang dapat kita jadikan uswah dalam kehidupan kita sebagai
pengurus dan anggota Muhammadiyah khususnya. Kesederhanaan para tokoh tersebut merupakan mutiara bagi kita. Siapa yang tidak mengenal K.H. A.R. Fakhrudin (Pak AR) ketua Umum PP Muhammadiyah selama 28 tahun (1968- 1990), beliau seorang tokoh yang sangat dikenal namun beliau tidak malu berjualan bensin eceran menambah penghasilan untuk menopang kehidupannya. Tidak pernah minta dilayani secara berlebihan walaupun beliau bisa saja menggunakan kedudukannya untuk minta dilayani dengan beragam, dan kekayaan amal usaha yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Beliau berprinsip memimpin adalah melayani!
Para ulama juga mengartikan bahwa perintah Allah untuk berkurban dengan menyembelih binatang memiliki makna yang lebih penting dari sekedar bagi bagi daging, prosesi penyembelihan binatang merupakan simbolisasi untuk penyembelihan terhadap sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri kita, seperti rakus, liar, ingin menang sendiri, dan bahkan buas membunuh. Karenanya, berkurban adalah mengakhiri sifat kebinatangan. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah saw menganjurkan untuk menyembelih dengan tangan kita sendiri hewan kurban kita. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik “Nabi saw berkurban dengan dua ekor kambing gemuk dan bertanduk, saya melihat Nabi saw meletakan kedua kakinya diatas pundak kambing tersebut, kemudian membaca basmalah, takbir, dan menyembelih dengan tangannya sendiri”
Jamaah idul adha yang dimuliakan Allah…,
Sifat hewaniah atau kebinatangan dalam diri manusia yang tercermin pada perilaku kaum oligarki sebagaimana penejelasan di atas harus
disembelih/dipotong dengan cara mengoptimalkan fungsi spritualitas hati, mata, dan telinga manusia sehingga tidak terjerumus kedalam neraka jahanam bahkan menjadi bahan bakarnya. Sebagaimana firman Allah swt (Al-A’raf 179):
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.