ThorCon juga membuat sebuah simulasi perbandingan sumber energi listrik lainnya dibandingkan dengan sumber energi listrik thorium. Simulasi tersebut menyebutkan bahwa untuk menyalakan sebuah bola lampu 100 watt membutuhkan sumber listrik sebagai berikut. Kalau menggunakan batubara dengan cadangan 20 tahun, maka lampu tadi akan menyala selama 4 hari. Kalau gunakan gas alam dengan cadangan 38 tahun, maka lampu 100 watt tadi hanya menyala 6 hari saja. Apabila menggunakan pembangkit listrik berbahan uranium (PLTN) dengan cadangan 40 tahun, maka lampu tadi akan menyala 120 tahun. Namun, apabila menggunakan pembangkit listrik bersumber thorium (PLTT), maka lampu 100 watt akan menyala selama 4.000 (empat ribu) tahun dengan cadangan diatas 1.000 (seribu) tahun.
Mahalnya BPP Listrik Babel
Suplai listrik di wilayah Bangka Belitung saat ini memang berlebih. Walau kadang kala masih ada yang bergiliran hidup matinya. Tetapi PLN merilis, listrik di wilayah Babel sudah tercukupi. Akan tetapi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik di Babel sangat tinggi. Nomor empat tertinggi di Indonesia setelah NTT (Nusa Tenggara Timur), Maluku, dan Papua. BPP Babel saat ini, USD 15,52 sen/kWh. Padahal BPP nasional saja hanya USD 7,66 sen/kWh.
Provinsi Sumatera Selatan saja yang hanya bertetangga dengan Babel, BPP listrik hanya USD 7,18 sen/kWh. Mengapa mahal? Sebagian besar pembangkit listrik di Babel menggunakan BBM solar (PLTD, bukan BBN (PLTT). Tingginya BPP listrik Babel menjadi beban APBN, karena pemerintah harus mensubsidi listrik Babel ke PLN. Karena PLN wajib memberlakukan tarif listrik sama untuk semua wilayah di Indonesia. Sekarang PLN menjual listrik ke konsumen USD 11 sen/kWh. Era Presiden Jokowi pernah turun jadi USD 9 (sembilan) sen/kWh. Menurut PLN, BPP tenaga listrik sepanjang 2020 mengalami penurunan hingga Rp41,91 triliun. BPP listrik turun menjadi Rp317,12 triliun dari perkiraan awal sebesar Rp359,03 triliun. ThorCon berencana menjual listriknya sekitar USD 5 dan 6 sen/kWh ke PLN. Dengan harga segitu, PLN bakal untung besar apabila membeli listrik dari PLTT Babel. Tak perlu lagi \"nanggok\" (bahasa Bangka, Red) dari APBN.
Celakanya, kalau Babel tetap menggunakan PLTD atau energi lainnya seperti sekarang, menjadi tidak menarik untuk produsen elektronik dan produsen komponen teknologi tinggi. Padahal Babel kaya dengan material yang dibutuhkan untuk memproduksi komponen elektronik dan komponen teknologi lainnya seperti timah putih, logam tanah jarang, dan lainnya. Rencana Pemerintah Pusat melakukan moratorium ekspor timah tahun 2024 adalah langkah tepat. Sebab selama ini timah putih dunia dalam skala besar hanya disuplai Tiongkok dan Indonesia. Indonesia hanya Babel yang memproduksi timah putih.
Tiongkok sudah lama menyetop ekspor timahnya. Tiongkok mempersilahkan industri komponen elektronik dan teknologi tinggi dunia membuka pabriknya di Tiongkok jika butuh timah. Agaknya Presiden Jokowi terinspirasi dengan kebijakan Tiongkok ini. Dalam rangka menyongsong kebijakan ini, mestinya Babel bersiap dengan kawasan industrinya. Agar nanti produsen komponen elektronika dan teknologi tinggi bisa bangun pabrik di Babel. Karena material timah sampai saat ini, belum bisa tergantikan dengan material lain dalam industri komponen elektronik dan teknologi tinggi.
Jika demikian, dengan hadirnya PLTT di Babel yang sebentar lagi dibangun, akan menjadi indikator penting masuknya produsen industri komponen elektronika dan komponen teknologi di Babel. Karena hanya PLTT yang mampu memproduksi listrik dengan tarif murah (agar APBN tidak terkuras) dan listrik yang dihasilkannya bermutu tinggi. Karena stabilitas listrik yang dihasilkan PLTT sangat tinggi. Sehingga voltase listrik tidak turun naik seperti yang ada sekarang. Voltase listrik turun naik yang dialami Babel sekarang sangat dibenci oleh produsen komponen industri elektronika. Karena akan merusak mutu produksi mereka menjadi scarf, tak berguna alias menjadi sampah.
Dengan demikian, kita sepakat bahwa PLTT bukan PLTN. Sama dengan PLTD bukan PLTA (air) atau PLTU (uap) yang sangat berbeda performanya. Karena reaktor PLTT dapat dimatikan apabila panas. Sementara reaktor PLTN tidak dapat dimatikan. Jadi, kalau reaktor PLTN panas, tinggal menunggu meledaknya saja. Tetapi harus ingat ternyata reaktor PLTT tidak menimbulkan panas sama sekali. Reaktor PLTT akan tetap dingin sepanjang masa. Teknologi yang akan diterapkan ThorCon dalam PLTT di Babel juga sama; teknologi fusi dingin. Buru-buru meledak, panas saja tidak. Kata direksi ThorCon kepada penulis.
Bahkan Kang Dicky (almarhum) seorang praktisi energi thorium beberapa kali membuat sumber listrik rumahan dengan memanfaatkan thorium yang terdapat pada kaos lampu Petromak. Ia menggunting kaos lampu Petromak itu, lalu dimasukan kedalam tabung yang sudah diisi air. Lalu tabung tersebut dihubungkan pada dinamo listrik. Dan mesin pun berputar dengan menghasilkan listrik cukup untuk satu rumah. Mesin listrik thorium ciptaan Kang Dicky itu cukup untuk menyalakan lampu rumah, kulkas, televisi, dan lainnya. Mesin sederhana tersebut pernah ditawarkan kepada PT Timah Tbk. Tapi entah mengapa tidak ada kelanjutannya. Mesin listrik rumahan ciptaan Kang Dicky disebut mesin thorium fusi dingin oleh kalangan ahli nuklir, karena memang tidak ada panas sama sekali. ThorCon juga bingung ketika ada orang awam mengatakan bahwa PLTT membuat orang Babel risih, takut meledak. Ternyata itu khayalan yang salah. Bravo Babel. ***