Kala Kebebasan Digital Berujung Pelanggaran Hukum
Wia Fadha Utari--Foto: ist
Oleh: Wia Fadha Utari
Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung
___________________________________________
Di depan hukum, tidak ada pernah ruang bebas termasuk media digital. Kehidupan masyarakat mesti ditata utnuk meningkatkan relevansi pada setiap aspek di sekitar. termasuk dalam penggunaan sosial media.
Platform online yang akhir-akhir ini menjadi hiburan bagi setiap kalangan usia menjadi objek paling tepat untuk dikenakan peraturan. Sebab tidak ada yang memandang latar belakang sosial, ekonomi dan lain sebagainya.
Dalam konteks kebebasan tadi, segala sesuatu di media sosal sering disalah artikan sebagai tindakan tanpa jeratan hukum sehingga banyak terjadi aksi pelanggaran norma.
Sebenarnya kebebasan berekspresi tidak pernah lepas dari setiap diri individu, hak tersebut telah ada sejak lahir dan diakui sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang yang mengaturnya. Akan tetapi, hak tersebut tetap wajib dipertanggungjawabkan dan tunduk terhadap hukum maupun regulasi yang berlaku.
BACA JUGA:Mengurai Hambatan Hilirisasi Timah: Gagasan Segar Dr Ichwan Azwardi dalam Buku Terbarunya
BACA JUGA:Dari Laut ke Cangkir Kopi: Membangun Sinergi Pariwisata dan UMKM Bangka Belitung
Maraknya pemberitaan palsu (hoaks), ujaran kebencian, pelanggaran privasi, pencemaran nama baik hingga unggahan berisi provokasi menunjukkan bahwa media sosial dapat berubah menjadi arena yang rawan disalah gunakan. Apabila hak tersebut disalahgunakan, maka akan terjadi penyimpangan dan pantas mendapatkan peringatan jelas.
Seperti yang kita ketahui, beberapa masa lalu, media massa dihebohkan atas video berisi ajakan penggeledahan ke rumah tokoh-tokoh publik yang didasarkan amarah atas konflik yang terjadi. Unggahan tersehut memperlihatkan betapa derasnya arus informasi provokatif menyebar di dunia digital tanpa memikirkan konsekuensi hukum akan hadir di antara mereka. Dalam konteks hukum, tindakan menyebarkan ajakan atau provokasi di media sosial dapat dijerat melalui berbagai ketentuan, antara lain Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Pasal ini menegaskan larangan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, serta larangan penyebaran informasi yang dapat memicu gangguan ketertiban umum.
Dapat kita simpulkan bahwa semestinya orang-orang yang mengunggah video tersebut mendapatkan jeratan hukum. Belum lagi dengan komentar persetujuan oleh netizen atas penjarahan yang condong terhadap pencurian barang mewah di rumah tokoh publik tersebut, seakan membenarkan tindakan tidak beretika.
Terlebih lagi, fenomena tersebut berlandaskan amarah dan upaya dalam pemenuhan ego mengenai berita yang beredar kala itu, meskipun kebenarannya belum berhasil menemukan titik temu.
Hal ini secara jelas menyatakan ruang digital sebagai akses untuk mempercepat penyebaran informasi tanpa terlebih dahulu mencari tahu kebenarannya. Akibat dari itu masyarakat sangat mudah sekali untuk terpengaruh oleh narasi sepihak, dan secara tidak sadar ikut terlibat dalam tindakan melanggar hukum.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
