Menyorot Akar Permasalahan Rendahnya Minat Siswa SMA untuk Kuliah: Potret Pendidikan di Bangka Barat

Menyorot Akar Permasalahan Rendahnya Minat Siswa SMA untuk Kuliah: Potret Pendidikan di Bangka Barat

Penelitian di salah satu SMA di Bangka Barat.--Foto: ist

BABELPOS.ID, MENTOK - Tidak semua siswa SMA memiliki keberanian untuk melangkah ke bangku kuliah. Sebagian memilih langsung bekerja, menikah muda, atau membantu keluarga karena merasa perguruan tinggi bukan untuk mereka. Gambaran ini menjadi potret nyata dunia pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, di mana Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi tahun 2024 hanya mencapai 20,14 persen, jauh di bawah rata-rata nasional.

Fakta tersebut menjadi latar belakang bagi dua dosen Universitas Bangka Belitung (UBB), Fajar Agung Pangestu, M.Pd. dan Hilda Rakerda, M.Pd., untuk menelusuri lebih dalam akar permasalahan rendahnya minat siswa SMA melanjutkan pendidikan tinggi. Melalui kegiatan penelitian sebagai bagian dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, keduanya berupaya memahami faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang membentuk keputusan siswa di Kabupaten Bangka Barat.

Penelitian ini merupakan penelitian yang lolos pendanaan dari Universitas Bangka Belitung melalui Skema Peneliti Muda tahun 2025. Penelitian dilakukan di tiga sekolah menengah atas negeri yaitu SMA Negeri 1 Muntok, SMA Negeri 1 Kelapa, dan SMA Negeri 1 Simpang Teritip dengan melibatkan 97 siswa sebagai responden kuesioner serta wawancara mendalam dengan guru dan siswa.

Hasilnya menggambarkan kenyataan yang kompleks: keputusan untuk kuliah bukan hanya soal kemampuan ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh struktur sosial, nilai budaya, dan sejauh mana sekolah mampu menumbuhkan motivasi belajar jangka panjang.

“Banyak siswa sebenarnya ingin kuliah, namun terbentur pada kondisi ekonomi dan minimnya dukungan lingkungan,” ungkap Fajar Agung Pangestu. Faktor struktural seperti pendapatan keluarga, restu orang tua, serta akses beasiswa menjadi penghalang utama. Di beberapa keluarga di Bangka Barat, kuliah masih dianggap sebagai beban finansial, bukan investasi masa depan.


Penelitian di salah satu SMA di Bangka Barat.--Foto: ist

BACA JUGA:FKIK UBB Luncurkan Program Desa Binaan dan Gelar Khitan Massal di Labuh Air Pandan

BACA JUGA:FH UBB Gandeng INI Babel Demi Wujudkan Notaris Handal

Selain itu, faktor kultural memainkan peran tak kalah besar. Dalam masyarakat pesisir dan pertambangan, bekerja cepat sering dianggap lebih realistis dibanding menempuh pendidikan tinggi. Nilai-nilai lokal ini, yang sudah melekat secara turun-temurun, kerap menekan semangat siswa untuk berkuliah.

“Ketika lingkungan sekitar tidak menempatkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan, maka siswa akan lebih mudah menyerah pada keadaan,” tambah Fajar.

Namun di tengah keterbatasan itu, peran sekolah menjadi kunci perubahan. Sekolah yang aktif mengadakan bimbingan karier, sosialisasi kampus, dan pendampingan beasiswa menunjukkan dampak nyata terhadap meningkatnya motivasi siswa.

“Sekolah perlu menjadi jembatan yang menghubungkan kondisi sosial siswa dengan peluang pendidikan tinggi yang lebih luas,” ujar Hilda Rakerda.

Melalui temuan ini, kedua dosen UBB berharap lahir kesadaran bersama antara sekolah, keluarga, dan pemerintah daerah untuk memperkuat budaya belajar serta memperluas akses pendidikan.

“Pendidikan harus menjadi gerakan kolektif. Ketika sekolah dan masyarakat saling mendukung, keberanian siswa untuk bermimpi dan melanjutkan kuliah akan tumbuh lebih kuat,” tutup Hilda.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait