Jika Bisa Memimpin, Mengapa Harus Menjadi Pendamping? (Catatan Kritis Koalisi Golkar–NasDem di Pilkada Bangka)

Ujang Supriyanto --Foto: ist
Oleh: Ujang Supriyanto
Wakil Ketua DPD Golkar Kabupaten Bangka Bidang Media Massa & Penggalangan Opini
___________________________________________
Pilkada Ulang di Kabupaten Bangka kembali memanggil kesadaran politik publik untuk lebih jernih menilai arah dan logika koalisi partai. Dalam konstelasi terbaru, tersiar kabar bahwa Partai Golkar—yang secara de facto memiliki cukup kursi untuk mengusung calon sendiri—akan berkoalisi dengan Partai NasDem, dan lebih mengejutkan lagi: Golkar justru ditempatkan di posisi Wakil Bupati.
Ini bukan sekadar manuver politik biasa. Ini adalah pukulan telak terhadap nalar strategis dan psikologis kader Golkar, khususnya mereka yang telah berjuang dari tingkat desa hingga kecamatan.
Di Mana Rasionalitas Politik Golkar?
Secara teoritis, koalisi partai adalah hal lumrah dalam demokrasi elektoral. Namun, dalam kaidah koalisi rasional (minimal winning coalition), partai besar seharusnya tidak mengalah ketika bisa memimpin.
Golkar, dalam hal ini telah memenuhi ambang batas kursi tanpa perlu bantuan partai lain.
Memiliki kader internal yang siap, berkualitas, dan memiliki akar basis elektoral.
Memiliki struktur yang teruji dalam kontestasi politik selama dua dekade terakhir.
Lalu, mengapa harus menjadi "ban serep" dalam koalisi ini?
Apakah ini bentuk kompromi elit semata? Ataukah ada tekanan vertikal yang memaksa Golkar menerima posisi subordinat?
BACA JUGA:Peluang Startup yang Dipimpin Pemuda dalam Ekonomi Digital
BACA JUGA:Golkar Bangka: Rasionalitas Politik dalam Gelombang Mahar dan Manuver Pilkada
Ketika Loyalitas Kader Dipertaruhkan
Di lapangan, suara-suara kritis dari kader akar rumput mulai terdengar. Banyak yang mempertanyakan: Kami ini pasukan kuning, sudah bekerja, membangun jaringan. Lalu mengapa kami hanya diposisikan sebagai pelengkap?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: