LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Ela Gustiani--Ist
Oleh: Ela Gustiani
Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung
PERDAGANGAN orang merupakan kejahatan dalam bentuk perbudakan yang melanggar hak asasi manusia. Masalah perdagangan orang setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signitifikan, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak. Indonesia menjadi salah satu negara asal terbesar bagi korban Perdagangan orang baik secara domestik maupun lintas negara.
Hal ini terjadi dilatarbelakangi dengan kesenjangan ekonomi yang pada akhirnya sering dijadikan alasan utama sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Dalam Pasal 1 Ayat (1) UUPTPPO disebutkan bahwa perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman ke-kerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penya-lahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratang utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Disebutkan dalam laporan UNAFEI tahun 2004 menunjukkan bahwa sepertiga dari jumlah perdagangan manusia di seluruh dunia adalah perempuan dan anak, dengan jumlah berkisar 200.000 - 225.000 orang tiap tahun. Tentu ini menjadi boomerang terhadap Perempuan dan anak-anak dalam bentuk pengeksploitasian dan perbudakan. Sementara, menurut Global Slavetary Index 2014, Indonesia merupakan salah satu negara dengan korban perdagangan orang (human trafficking) yangcukup besar,diproyeksikan berjumlah sekitar 700.000 orang dengan berbagai modus pengiriman ke luar negeri baik berupa pekerja seks komersial, pekerja anak, adopsi illegal, pernikahan pesanan, narkoba, dll. Jumlah tersebut adalah sekitar 11,3 persen dari jumlah pekerja migran Indonesia, suatu jumlah yang cukup besar saat ini.
Bagaimana penegakan hukum di Indonesia?
Upaya penegakan hukum di Indonesia masih lemah terhadap pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Hal ini dibuktikan dengan data Deputi Perlindungan Anak Ke-menterian Pemberdayaan Perempuan (KPP) Surjadi Soeparman yang memaparkan dari 123 kasus sepanjang rentang 2007 hanya 50 kasus yang diproses jaksa penuntut umum (JPU). Sementara dari 50 kasus tersebut hanya dua kasus yang berkasnya bisa diproses hingga tingkat pengadilan. Sebagai mahasiswa tentu ini yang harus diselidiki bagaimana nantinya penegakan hukum dapat ditingkatkam lagi terhadap pelaku perdagangan orang.
Dari perspektif lemahnya penegakan hukum di Indonesia terhadap tindak pidana perdagangan orang, terdapat faktor yang menjadi pemicu salah satunya adalah penggunaan penetapan peraturan perundang-undangan. Hal ini lazim terjadi perbedaan penggunaan dasar peraturan antara UUTPPO dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penulis memberi perspektif dalam UUP TPPO yang mana pada pasal 30 UUP TPPO dijelaskan bahwa, keterangan seorang saksi korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya. Sementara dalam KUHAP pemeriksaannya tidak dilihat dari alat bukti saksi saja. Namun, ketentuan jenis alat bukti sendiri dilihat dari keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa sesuai Pasal 184 KUHAP. Kemudian dalam KUHP alat bukti yang diatur cukup sulit, yang mana sebagai alat buktinya dituntut minimal terdapat dua alat bukti yang sah, seperti harus ada bukti dokumen, bukti transaksi sebagai bentuk kegiatan perdagangan orang. Kemudian yang menjadi faktor pemicunya adalah pelaku perdagangan orang yang diajukan ke pengadilan rata-rata berkasnya gugur karena tidak memenuhi syarat.
Akibatnya, Ketika jaksa penuntut umum dan hakim menggunakan KUHP sebagai dasar mendukung proses pemidanaan maka rata-rata sanksi yang diberikan 6-8 bulan penjara. Padahal jika menggunakan dasar hukum UUP TPPO sebagaimana dalam pasal 2 UUP TPPO, maka pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab lemahnya pengakan hukum terhadap perkara tindak pidana perdagangn orang dilihat dari faktor internal dalam aparat penegakan hukum mulai dari aparat kepolisian sampai dengan jaksa penuntut umum kurang maksimal, serta aparat penegakan hukum cenderung menggunakan KUHP daripada PTPPO dalam memproses secara hukum pelaku tindak pidana perdagangan orang. sehingga fenomena terhadap perdangangan orang tetap marak saat ini.(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: