Darah Bendera Merah

Darah Bendera Merah

--

Cerpen Kiran Balqis Alkalivi
Asrama Kelas Beasiswa PT Timah Tbk
SMA NEGERI 1 PEMALI

TERDENGAR jelas hembusan demi nafas milik pemuda satu ini. Matanya memicing ke depan memfokuskannya pada kaca yang ada dihadapannya.

1..2..3..

Ia elokkan tubuhnya seiring dengan irama musik, tangannya ia lentikkan dan mata tetap pada tatapan tajam.

Kalau tidak, kalau tidak karena bulan..

Matanya ia pejamkan guna menikmati iringan musik dan tubuhnya tetap bergerak mengikuti alunan lagu. Ia harus bisa, semangatnya tidak boleh mati tertiup asa.

..Tiga bujang sekawan hanyalah satu..hanyalah satu..

Hingga dimenit terakhir lagu itu berhenti, pemuda itu pun juga ikut berhenti, menatap dirinya sendiri pada pantulan kaca. Keringatnya terus turun membasahi dahinya. Matanya tajam berwarna kecoklatan, kulit putih pucat serta postur tubuh yang tinggi, dia adalah Akseyna Ja Laorihan.

***

Selepas makan siang, ruang Himpunan Mahasiswa tersebut diisi boleh beberapa dosen dan mahasiswa untuk membahas sesuatu yang istimewa bagi Universitas Gadjah Mada. 

“Seperti yang kita tahu, program ini sangat diistimewakan karena hanya beberapa mahasiswa yang bisa lolos dalam program ini. Saya harap kalian memiliki harapan dan semangat yang tinggi untuk mengikuti beberapa seleksi yang akan dilaksanakan.”

“Salah satu persyaratan untuk mengikuti program ini adalah menampilkan kebudayaan daerah terbaik dari masing-masing peserta. Saya sarankan untuk menampilkan kebudayaan tempat tinggal kalian masing-masing.”

Rapat itu pun usai ditutup oleh salah satu dosen dengan ucapan terima kasih. Semuanya keluar dari ruangan tersebut tak terkecuali Akseyna Ja Laorihan. Pemuda yang kerap disapa Akseyna tersebut ikut serta dalam program Student Exchange Tokyo University of Foreign Studies yang mana program ini merupakan pertukaran pelajar atau dosen dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan kebahasaan.

Bukan tanpa alasan Akseyna mengikuti program ini. Latar belakang adalah faktor utama yang menjadi alasan seorang Akseyna. Akseyna Ja Laorihan, mungkin orang hanya mengenalnya sebatas anak jurusan Sastra Bahasa Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada. Oh iya, satu lagi, anak miskin yang beruntung karena mendapatkan beasiswa.

Kilas balik tentang latar belakang pemuda ini. Pemuda bernama lengkap Akseyna Ja Laorihan lahir di Pangkalpinang, salah satu ibu kota kecil di Indonesia. Diusianya menginjak enam belas tahun, ia sudah menaruh tekad pada dirinya untuk pergi ke kota orang, merantau tahun demi tahun untuk meraih masa depan gemilang. Tekad anak ini tak pernah mati, walaupun beribu kali cacian yang ia dengar hanya karena anak bantuan pemerintah. Ia bersyukur kepada tuhan karena telah memberikannya mental yang kebal terhadap penghinaan itu. Namun, pernahkah Akseyna merasa lelah terhadap semuanya? Pernah, pada kenyataannya Akseyna hanyalah pemuda biasa yang memiliki perasaan.

Ia kira, penderitaan itu hanya cukup sampai tamat sekolah menengah atas. Nyatanya, walaupun sudah di kota orang itu terus berlanjut. Ia memiliki teman dekat? Iya, ia memiliki namun bukan sebagai teman dekat melainkan teman yang hanya datang dengan senyuman manis penuh arti.

Penuh arti.

Akseyna juga tidak bisa berbuat banyak selain menulikan pendengarannya, akan tetapi bukan berarti dia lemah dan mundur, justru itu menjadi dorongan bagi Akseyna untuk membuktikan pada khalayak ramai bahwa anak beasiswa tidak hanya makan uang pemerintah saja tetapi juga memberikan timbal balik berupa prestasi. Itulah motivasi kuat yang dipegang teguh oleh Akseyna sampai sekarang.

“Aku dengar si anak beasiswa juga ikut program pertukaran pelajar itu.”

“Benarkah? Berarti dia akan melawan Abigail.”

“Benar. Aku yakin dia tidak lolos, secara Abigail memiliki backingan yang kuat.”

“Sok-sokan saja ikut. Apa yang akan dia banggakan di mata publik?”

Hari tiada henti Akseyna terus mendapat cibiran, apalagi disaat orang tahu kalau ia juga mengikuti program pertukaran pelajar ini. Abigail Wibisana, semua orang tahu mahasiswa jurusan Sastra Belanda ini terlampau tak menyukai Akseyna. Ada banyak alasan mengapa Abigail membencinya, salah satunya adalah kalahnya ia dalam pencalonan presiden BEM Sastra dan Budaya tahun kemarin dan penyebabnya adalah Akseyna.

“Akseyna.”

Pemilik nama lantas menoleh ketika seseorang memanggilnya. “Iya?”

“Abigail menunggumu di ruang BEM.”

Mendengar itu, Akseyna sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia mengangguk kemudian mengucapkan terima kasih dan lantas melangkah ke ruang BEM.

***

Pintu itu terbuka dan menampakkan seorang Abigail dengan tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana. Abigail menatap remeh Akseyna yang berada dihadapannya.

“Kau memanggilku?” Akseyna bertanya.

Abigail mengangguk, ia berjalan mendekat ke arah Akseyna. “Aku tidak suka basa-basi, aku hanya ingin kau mundur dalam program pertukaran pelajar.”

Lontaran kata yang diucapkan Abigail membuat Akseyna tertegun. Ia dengan sigap menatap lawan mata dihadapannya seraya menggeleng.

Melihat itu, Abigail tersenyum remeh. “Kau yakin akan tetap melanjutkannya?”

“Iya.” Akseyna menjawab.

“Aku tidak yakin kau akan lolos dalam program ini. Jika kau tidak lolos, kau akan memalukan nama baik kampus serta nama baik kebudayaan asalmu. Jangan berharap lebih, mundurlah.” Sarkas Abigail.

“Aku tidak tahu apa yang mendorongmu untuk berbicara tinggi seperti ini.” Sahut Akseyna dengan tajam.

“Aku hanya ingin kau mundur, Akseyna!” Nada berbicara Abigail meninggi.

“Kenapa kau memintaku untuk mundur? Bukannya kita bisa bersaing secara sehat? Kenapa? Kau takut?” Tanya Akseyna secara bertubi-tubi.

Abigail terpaku.

Akseyna mendekat ke arah telinga pemuda yang dihadapannya itu, membisikkan sesuatu yang membuat emosi Abigail menaik.

“Pada kenyataannya, kau hanyalah anak manja yang berlandaskan harta dan kekuasaan milik orang tuamu.”

***

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, namun bukan berarti ini adalah waktu istirahat bagi Akseyna. Pemuda itu terus berkotak-katik dengan sebuah laptop dan beberapa dokumen-dokumen.

“Salah satu persyaratan untuk mengikuti program ini adalah menampilkan kebudayaan daerah terbaik dari masing-masing peserta. Saya sarankan untuk menampilkan kebudayaan tempat tinggal kalian masing-masing.”

Akseyna tiba-tiba terdiam sejenak teringat ucapan dosen tadi siang. Ia harus memikirkan apa yang akan ia tampil dalam seleksi nanti.

“Budaya Bangka Belitung.” Dengan cepat tangannya mengotak-agik sebuah laptop dan menampilkan beberapa laman atau tautan yang sesuai dengan pencariannya.

“Tari Campak, ya.” Akseyna melihat sebuah video yang berjudul Tari Campak asal Bangka Belitung, dengan cepat ia memencet video tersebut dan menontonnya.

Dengan penuh ketelitian ia memperhatikan secara rinci gerakan-gerakan dalam tarian tersebut. Akseyna tersenyum, ia yakin dirinya bisa melakukan ini.

Setidaknya, Akseyna hanya ingin mengatakan kepada khalayak ramai, bahwa kedua orang tuanya berhasil mendidik ia selama ini.

Ia pun kembali mengecek dokumen persyaratan yang ada disebelahnya.

“Tanggal dua puluh empat.” Akseyna bermonolog. Terlintas dipikirannya yakin budaya khas Bangka Belitung yaitu Nganggung, matanya berbinar. Ia tahu, ia tahu apa yang harus dilakukan. Akseyna rapikan barang-barangnya yang berantakan persiapkan diri untuk beristirahat.

Semangat, anak hebat.

***

“Maaf, ruang studio ini sudah disewa oleh Saudara Abigail Wibisana, Anda bisa menyewa studio ini lain kali.”

Akseyna menghela nafas berat, ia mengangguk kecewa dan pergi meninggalkan ruang studio tersebut.

Tidak, ini bukanlah titik akhir bagi seorang Akseyna, matanya berbinar karena telah menemukan jalan lagi, lantas ia langkah kakinya menuju tempat yang bisa dibilang jarang ditemui orang.

Gudang.

Entah apa yang ada dipikiran Akseyna, tetapi gudanglah yang terlintas dipikirannya. Akseyna buka pintu gudang tersebut, berdebu adalah satu kata yang bisa mendeskripsikan ruangan tersebut.

Namun, tak apa, Akseyna tidak peduli. Ia tutup kembali pintu tersebut, memposisikan dirinya dihadapannya kaca yang besar, tak lupa membuka handphonenya untuk memutar lagu tersebut.

Aku bisa. Ucapnya dalam hati.

Terdengar jelas hembusan demi nafas milik pemuda satu ini. Matanya memicing ke depan memfokuskannya pada kaca yang ada dihadapannya.

1..2..3..

Ia elokkan tubuhnya seiring dengan irama musik, tangannya ia lentikkan dan mata tetap pada tatapan tajam.

Kalau tidak, kalau tidak karena bulan..

Matanya ia pejamkan guna menikmati iringan musik dan tubuhnya tetap bergerak mengikuti alunan lagu. Ia harus bisa, semangatnya tidak boleh mati tertiup asa.

..Tiga bujang sekawan hanyalah satu..hanyalah satu..

Gerakan demi gerakan ia lalui, tangannya tak luput dari lentikan jari yang ia cipta, dengan mata tertutup seolah-olah penari handal.

...janganlah tuan bersusah hati...

Hingga dimenit terakhir lagu itu berhenti, pemuda itu pun juga ikut berhenti, menatap dirinya sendiri pada pantulan kaca. Keringatnya terus turun membasahi dahinya. Matanya tajam berwarna kecoklatan, kulit putih pucat serta postur tubuh yang tinggi, dia adalah Akseyna Ja Laorihan.

***

Waktu terus berjalan, hari yang dinantikan Akseyna pun tiba. Ia menatap dirinya sendiri pada pantulan kaca, memakai baju adat khas Bangka Belitung yakni Kain Cual berwarna merah yang terbuat dari kain sutra.

“Semoga saja kegiatannya berjalan dengan lancar.” Monolog dirinya sendiri. Berbicara mengenai kedua orang tuanya, lusa kemarin Akseyna memberitahu ibunya terkait mengikuti program pertukaran pelajar ini.

“Emang a program apa mekak, Bang?” (Emangnya program apa, Kak?)

“Namaik mo mak ge, Abang ik nek keluer ngiring pertukaran pelajar ke Tokyo.” (Jadi begini, Bu. Kakak mau keluar ikut pertukaran pelajar ke Tokyo.) Ucap Akseyna dengan tenang.

“Sebile mekak, Bang?” (Kapan, Kak?) Tanya Sang Ibu.

“Rencana a due minggu ke adep. Sulieh dak, Mak?” (Rencananya dua minggu lagi, boleh gak, Bu?)

“men yuk pak basing kau lah mo, Bang. Men Mak panggak dapet ngedukung kau dari yik lah.” (Kalau itu terserah kamu, Kak. Ibu cuma bisa dukung dari sini.)

“Makaseh ok Mak, Mak sehat-sehat lah di yuk.” (Makasih ya, Bu. Sehat-sehat ya Bu di sana.) berakhirlah telepon antara ibu dan anak itu.

Mengingat seleksi akan dimulai tiga puluh menit lagi, Akseyna dengan sigap keluar dari ruang persiapan dan tidak sengaja bertatapan dengan Abigail.

Ekspresi Akseyna tenang saja seperti tidak ada apa-apa namun berbeda dengan Abigail, ekspresi pemuda itu sangat datar dan tatapannya sangat tajam, tanpa mengatakan apa pun Abigail melewati Akseyna seolah-olah tidak ada siapa pun di sana.

Namun, Akseyna tidak mau ambil pusing, ia pun melanjutkan langkahnya ke depan menuju ruangan seleksi untuk menunggu giliran.

***

“Peserta nomor urut empat belas, Akseyna Ja Laorihan.”

Akseyna tersenyum tatkala mendengar namanya dipanggil, dengan sigap ia melangkah menuju panggung yang mana di depannya berisi tiga juri dengan penilaian yang berbeda.

Ia menghela nafas sejenak, sebelum memulai kegiatan, ia berdoa kepada tuhannya meminta kelancaran. Dengan senyuman yang tak luntur, Akseyna membungkukkan badannya dihadapan para juri.

“Good afternoon ladies and gentleman, this is a special day and golden opportunity for me. My name is Akseyna Ja Laorihan, a student majoring in Indonesian literature, faculty of literature and culture, Gadjah Mada University. I am a young man who comes from one of the islands in Indonesia as known as Bangka Belitung. Because I came from there, I will present culture from Bangka Belitung namely Tari Campak. Have a good watching.” (Selamat siang ibu dan bapak hadirin sekalian, ini adalah hari spesial dan kesempatan emas bagi saya. Nama saya Akseyna Ja Laorihan, Mahasiswa jurusan Sastra Bahasa Indonesia fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada. Saya adalah pemuda yang berasal dari salah satu pulau di Indonesia yakni Bangka Belitung. Karena saya berasal dari sana, saya akan menampilkan salah satu budaya dari Bangka Belitung yaitu Tari Campak. Selamat menyaksikan.) Pidato singkat itu diutarakan Akseyna sebelum ia menampilkan aksi terbaiknya.

1..2..3..

Musik itu diputar sepadan dengan mulainya Akseyna menggerakkan tubuhnya. Kepalanya ia  gerakkan sebagai gerakan pertama, disusul dengan tangan dan jari-jari yang melentik. Tak lupa senyuman manis itu terus terukir di wajah pemuda satu ini.

..Tiga bujang sekawan hanyalah satu..hanyalah satu..

Seakan-akan penari handal disuatu acara, dengan lincah dan lentur ia elokkan badannya. Akseyna bangga ia bisa menampilkan salah satu budaya tempat asalnya. Harapannya ke depan semoga pulau Bangka Belitung dan kebudayaannya semakin dilirik pihak luar. Tak lupa satu lagi; anak beasiswa tidak hanya makan uang pemerintah saja tetapi juga memberikan timbal balik berupa prestasi.

..hanyalah satu..

Musik itu berhenti pertanda sudah usai, Akseyna pun menghentikan pergerakannya, disambut dengan suara tepuk tangan dari para juri dan hadirin yang berada di sana.

“This is one of culture in Bangka Belitung island that we really uphold. I will show you another culture of Bangka Belitung namely Nganggung.” (Ini adalah salah satu budaya dari Bangka Belitung yang sangat kami junjung. Saya akan menunjukkan kepada Anda budaya lainnya dari Bangka Belitung, yaitu Nganggung.) Ujar Akseyna.

Akseyna berjalan ke arah kursi yang ia duduki sembari menunggu tadi, lalu kembali dengan sebuah rantang makanan ditangannya dan meletakkan benda itu dimeja para juri.

“Nganggung is a one of culture in Bangka Belitung which is an activity of eating together as a form gratitude to God almighty.” (Nganggung adalah salah satu budaya Bangka Belitung yang mana merupakan kegiatan makan bersama sebagai bentuk rasa syukur kepada tuhan yang maha esa.) Ujar Akseyna memperkenalkan kebudayaannya di mata publik dengan bangga.

“You introduce the culture of your origin properly and correctly. I am amazed by what you show. Time is up, we can meet next time.” (Anda memperkenalkan budaya asal tempat tinggal Anda dengan baik dan benar. Saya kagum dengan apa yang Anda tunjukkan. Waktu sudah habis, kita bisa bertemu lain kali.) Ucap salah satu juri diiringi dengan sebuah tepuk tangan.

“Ah, thank you, Sir.” (Terima kasih, Pak.) Setelah mengatakan itu, ia berjalan menjauh dari panggung. Sebelum itu, Akseyna tak lupa untuk membungkukkan badannya sebagai tanda hormat.

Akseyna bernapas lega, kegiatan yang ia nantikan akhirnya berjalan dengan lancar, melewati semua ini bukanlah suatu proses yang mudah, Akseyna harus menjalani pelatihan dengan serius, belum lagi dengan tugas kuliahnya, cibiran orang-orang, dan— Abigail Wibisana.

“Peserta nomor urut lima belas, Abigail Wibisana.”

Bertepatan dengan panggilan itu, Akseyna dan Abigail kembali bertatapan mata. Abigail memalingkan tatapan itu seolah-olah tidak mau melihat Akseyna. Namun, Akseyna kebalikannya, pemuda jurusan Sastra Bahasa Indonesia tersenyum malah tersenyum seraya berkata; “Semangat, ya.”

***

Jam menunjukkan pukul sembilan malam, Akseyna dengan ransel cokelatnya itu berjalan melewati gang kecil yang biasanya ia lewati untuk mempercepat waktu pulang.

Ia lewati gang sempit nan kecil itu tanpa cahaya satu pun, benar-benar sangat gelap.

..srk..srk..sek.

Sudah hampir dua tahun Akseyna melewati jalan ini, ia rasa tidak ada satu pun yang mencurigakan selain tikus yang mencari makan, tetapi kali ini rasanya berbeda.

Langkah kakinya ia percepat dari biasanya, Akseyna enggan menoleh ke belakang.

“Akh!”

<span style="font-size: 12pt; font-family: 'Times New Roman'; color: #000000; background-color: transparent; font-weight: 400; font-style: normal; font-variant: normal; text-deco

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: