Mentang-Mentang

Mentang-Mentang

Ahmadi Sofyan--

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

Mentang-mentang di belakang, seenaknya ngelakson yang di depan.
Mentang-mentang tinggal di kota, bahasa kampung dilupakan.
Mentang-mentang sudah jadi kaum berdasi, sarung ditinggalkan.
Mentang-mentang mau Pilkada, baru sibuk ngasih bantuan.
Mentang-mentang ada isteri muda, isteri tua diabaikan.

SUATU hari, sahabat karib semasa Ibtidaiyah (Sekolah Dasar) di kampung kerapkali bercerita mengenai kawan-kawan dari yang sudah sukses, setengah sukses, hampir sukses atau tidak pernah sukses karena perilaku dek kawa nyusah, dari yang sudah selesai nikah (Duda/Janda) sampai yang betah hidup sendirian sampai “onderdilnya” jadi barang rongsokan. 

“Si Anu mentang-mentang berseragam PNS, saya yang miskin dan hanya tinggal di kebun dengan pakaian kotor tidak pernah ditegur sama sekali. Padahal sering papasan hampir bersentuhan kulit, tapi sama sekali saya tak pernah disapa. Mentang-mentang jadi PNS, kayak malu berteman dengan orang seperti saya ini!!” curhat sahabat karib yang selalu ceria walaupun hidup penuh kekurangan. Kalimat mentang-mentang sahabat karib inilah yang akhirnya menjadi inspirasi bagi saya untuk menuangkan TARING (Catatan Ringan) di harian Babel Pos ini. Walaupun kalimat “mentang-mentang” ini hampir setiap hari mengisi diskusi kita.

Umumnya, julukan mentang-mentang kerapkali kita tujukan kepada orang yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Sementara pada fenomena lain, mentang-mentang dianugerahi wajah cantik bersikap tinggi hati, mentang-mentang memiliki segalanya, menganggap segalanya bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Mentang-mentang bebas berpendapat, seenaknya saja mengeluarkan pendapat, mentang-mentang senior, yang junior selalu diremehkan. Mentang-mentang tidak ada orang, buang sampah sembarangan, mentang-mentang tidak ada Polisi, rambu-rambu lalu lintas dilanggar.

Sikap mentang-mentang atau populer di sebut “sok” atau “taipau” (bahasa Bangka) ini dapat digolongkan sebagai perilaku menyimpang dari seseorang diluar standar individu normal, nilai sosial dan kelembagaan. Artinya ada upaya eksploitasi seseorang dengan kedudukan dan kemampuannya agar lingkungan mau menerima dan menyukai atau segan akan sikapnya. Pada intinya, orang tersebut melakukan legitimasi sendiri tentang perilaku mentang-mentang tersebut tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang berlaku umum. 

Sikap mentang-mentang yang dilakukan oleh seseorang sebenarnya ia menunjukkan kadar percaya diri yang bersangkutan sangatlah rendah sekaligus lupa diri dan taipau (sombong). Dengan demikian kalau sikap mentang-mentang sudah menjadi kebutuhan dan kepentingan pribadi seseorang maka bisa membuat ia semakin tidak produktif. Sikap ini tidak saja merusak citra diri, kinerja dan reputasi, tapi juga dapat merusak lingkungan sosial dan lingkungan kerja. 

Perilaku mentang-mentang terlalu banyak kita temui bahkan juga dalam diri kita sendiri. Mentang-mentang sudah sarjana, merasa diri paling bisa, mentang-mentang tua meminta selalu dihormati dan dihargai, mentang-mentang muda seenaknya saja menyalahkan yang tua dan menganggap generasi tua terlalu lamban, mentang-mentang berbadan besar, kalau berjalan membusungkan dada, mentang-mentang banyak Parpol membuka pendaftaran Caleg, rebutan daftar jadi Caleg tanpa mengukur kemampuan diri dan kualitas perilaku di mata keluarga, tetangga serta lingkungan dimana ia berada. Mentang-mentang banyak duit, seenaknya kawin dimana pun ia singgah. Mentang-mentang keluarga “Cendana” (pejabat) gayanya sudah selangit dan tak mengenal lagi keluarga cemara (rakyat).

Budaya mentang-mentang juga hadir dalam setiap lini kehidupan kita tanpa memandang apa dan siapa. Mentang-mentang jadi atasan, seenaknya perintah bawahan, mentang-mentang jadi bawahan seenaknya saja nggosipin atasan, mentang-mentang kaya seenaknya saja mengumbar kekayaan, mentang-mentang miskin kesana kemari minta bantuan dengan menadahkan tangan mengumbar kemiskinan diri, mentang-mentang sehat lupa sama sakit, mentang-mentang sakit manjanya minta ampun, mentang-mentang  makan di Restoran, masakan isteri di rumah tak lagi dicicipin, mentang-mentang baru beli mobil, tiap hari dilapin dan dicuci di depan rumah.

Penyakit mentang-mentang juga mewabahi segala jenis profesi di negeri ini. Mentang-mentang jadi pengatur hukum, seenaknya saja membolak-balikkan pasal dan mencari kesalahan orang, mentang-mentang mahasiswa seenaknya saja demo dengan menghujat dan mencaci maki, mentang-mentang wartawan seenaknya menulis berita, mentang-mentang jadi pegawai negeri, kesana kemari pamer seragam sampai nggak ganti-ganti, mentang-mentang wartawan merasa cukup mengeluarkan kartu pers saat ditilang padahal jelas-jelas melanggar peraturan, mentang-mentang berseragam Polisi, seenaknya saja tilang sana-sini, dan…. mentang-mentang bisa menulis di koran, seenaknya saja “ngeruce” (ngatain) orang. Nah Lo, kena juga…?!

Salam mentang-mentang!(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: