Nyaman dengan Bahasa Sendiri

Nyaman dengan Bahasa Sendiri

Budi Rahmad--

Oleh Budi Rahmad

Wartawan Babel Pos

 

SUNGGUH, penulis sempat kaget, ketika membaca spanduk dalam ukuran cukup besar yang terpampang di ruang publik. Spanduk tersebut memuat pemberitahuan seleksi salah satu badan ad hoc. Bukan soal perekrutannya, tetapi soal bahasa yang digunakan: "Open Rekrutman". 

 

Coba kita baca sekali lagi. Perhatikan dengan saksama kalimat yang ada. "Open Rekrutmen. Disebut bahasa Inggris, bukan. Disebut bahasa Indonesia, jauh panggang dari api. Jika bahasa Inggris maka seharusnya "Open Recruitment". Jika bahasa Indonesia semestinya "Rekrutmen Terbuka". Apakah ini tipo atau sengaja?

 

Spanduk yang penulis sebutkan di atas bukanlah satu-satunya contoh bagaimana memprihatinkan sikap terhadap bahasa Indonesia dan sikap berbahasa Indonesia di ruang publik.  Sikap negatif yang akan mudah kita temui: bangga terhadap bahasa asing dan abai terhadap ejaan bahasa Indonesia. 

 

Sikap Terhadap Bahasa

Menurut Fatmahwati A, dari Balai Bahasa Riau, bahwa penggunakan bahasa asing oleh masyarakat lebih disebabkan karena mereka mengaku tidak mengetahui adanya landasan hukum (undang-undang) penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, menganggap bahasa asing memiliki prestise yang lebih tinggi, menilai masyarakat lebih tertarik dan menyukai bahasa asing, dan menganggap istilah asing lebih umum dipakai.

 

Sementara penyebab kesalahan penggunaan bahasa Indonesia karena tidak mengetahui kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, menganggap kaidah bahasa Indonesia tidak penting dipelajari, dan menilai masyarakat tidak mempermasalahkan kaidah. 

 

Nah, ketika pengguna ruang publik banyak dan sering mengabaikan aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, akhirnya masyarakat juga ikut-ikutan mengabaikan bahasa Indonesia, bangga terhadap bahasa asing, dan mengabaikan kaidah berbahasa Indonesia. Bahkan bukan tidak mungkin akan memunculkan sikap bahwa bahasa Indonesia rumit dan tidak bermutu. Sikap ini yang disebut sikap negatif terhadap bahasa dan sikap negatif dalam berbahasa. 

 

Jika sikap terhadap bahasa dan berbahasa sudah negatif, niscaya rasa bangga terhadap bahasa Indonesia akan luntur. Tak ada lagi nilai kebanggan yang dimiliki, tentu saja sikap ini tidak baik. Karena itu perlu dipertimbangkan untuk kembali kepada aturan yang ada dalam berbahasa di ruang publik. Yakni dengan berpedoman pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

 

Ruang publik tidak hanya dipenuhi dengan tipo atau kesalahn tik saja, tetapi juga dipenuhi dengan kebanggan berlebihan menggunakan bahasa asing. Hal ini membuat bahasa Indonesia terpinggirkan. Lihat saja penamaan perumahan, toko, mal, hotel, papan reklame,   dan kawasan wisata, yang ternyata masih didominasi dengan bahasa asing. Harus diakui penggunaan bahasa asing ini menjadi prestise bagi sebagian masyarakat. Bahasa asing diaggap lebih keren dan memiliki nilai jual tinggi. 

 

Ditambah dengan ulah pengguna ruang publik yang masih beranggapan bahwa berbahasa asing dinilai lebih relevan dengan perkembangan dunia. Padahal, penggunaan bahasa Indonesia dalam penamaan toko atau tempat usaha dalam bahasa Indonesia merupakan salah satu sikap menghargai sekaligus memberi penghormatan terhadap bahasa Indonesia.  

 

Selain itu yang perlu diingat adalah salah satu fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional adalah sebagai lambang kebanggaan nasional. Namun, kenyataannya berbanding terbalik. Sikap menghargai cenderung tergerus. Sikap bangga itu harus ditunjukkan dan benar-benar tercermin dalam perilaku terhadap bahasa dan perilaku berbahasa.

 

Di sisi lain, bangga menggunakan bahasa asing terkadang dilakukan oleh pemerintah sendiri. Beberapa istilah asing justru diluncurkan dari mulut pemerintah. Beberapa contoh diantaranya istilah smart city, launching, flyover, car free day, dan zero accident. Akibatnya, kata-kata itu menjadi familiar dan selalu diingat oleh masyarakat. Padahal padanannya dalam bahasa Indonesia jelas ada, yakni kota pintar, peluncuran, jalan layang, hari bebas kendaraan, dan nol kecelakaan. Pemerintah ikut latah dengan mengedepankan penggunaan bahasa asing dibading bahasa Indonesia. Semestinya pemerintahlah yang mengajak dan menjadi pionir dalam memiliki rasa bangga terhadap bahasa Indonesia. 

 

Sebagai warga negera Indonesia sudah sepantasnya memiliki rasa bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Setiap warga negara Indonesia sepantasnya memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Artinya dalam berbagai kesempatan sudah seharunya menggunakan bahasa Indonesia. 

 

Sikap terhadap bahasa ikut berperan dalam menentukan kelangsungan hidup suatu bahasa. Semakin negatif sikap terhadap bahasa, maka akan membuat bahasa tersebut secara perlahan lenyap. Begitu sebaliknya, jika sikap positif terus tertanam akan semakin membuat bahasa tersebut tetap bertahan dan berkembang.

Mental terhadap bahasa adalah cara pandang terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain. Sikap ini tercermin dalam pemilihan bahasa yang digunakan, bahasa sendiri atau bahasa orang lain. 

 

Sikap positif akan melahirkan rasa setia dan bangga terhadap bahasanya sebagai penanda jati diri. Sikap itu akan menerima bahasanya secara terbuka dan percaya diri, dan bertanggung jawab serta kesadaran yang baik akan bahasa sendiri.  Sementara sikap negatif terhadap bahasa Indonesia melahirkan ketidakpedulian, Yakni malu menggunakan bahasa sendiri, enggan memperbaiki kesalahan dan tidak menerima saran. 

 

Sikap Berbahasa

Sementara sikap berbahasa tercermin dalam pemilihan kata yang digunakan. Mudah sekali menemukan penulisan bahasa Indonesia di ruang publik yang juga memprihatinkan. Seperti penulisan apotek menjadi apotik, praktik ditulis praktek. Sedianya jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka penulisan yang benar adalah apotek dan praktik. Apotek akan menjadi apoteker dan praktik akan menjadi praktikum, bukan apotiker dan bukan praktekum.

 

Contoh lainnya adalah penggunaan kata imbauan yang ditulis himbauan, utang yang ditulis hutang, dijual yang ditulis di jual. Semua itu adalah kekeliruan atas ketidaktahuan penulis. Yakni, tidak mengetahui ejaan yang benar. Tidak mengetahui kata baku dalam bahasa Indonesia. 

 

Meski begitu sikap ini harus tetap diperbaiki. Jika tidak, sikap ketidakpedulian ini akan semakin berkembang, membuat akan semakin banyak masyarakat yang melakukan kesalahan serupa, hanya beda merek saja. Semakin banyak kesalahan yang dibiarkan membuat kesalahan tersebut dianggap benar. 

 

Sikap berbahasa juga dengan mudah dapat menular. Semakin banyak yang terjangkit sikap negatif. Tentu saja hal ini tidak boleh terjadi. Memiliki sikap positf berbahasa adalah obat yang manjur untuk mempertahankan bahasa.

 

Razia Bahasa

Penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik ini bukan tidak mendapat perhatian oleh Badan Bahasa. Di Babel sendiri "razia bahasa" dilakukan oleh Kantor Bahasa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan berbagai cara. Di antaranya menggelar Penganugerahan Wajah Bahasa Indonesia (PWBI). Anugerah ini diberikan kepada sekolah, lembaga pemerintah, swasta yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Indikatornya tentu saja pengutamaan bahasa Indonesia di lingkungan masig-masing. Seperti pada papan nama, papan petunjuk, penulisan nama dan jabatan, surat dinas, spanduk, dan nama ruangan. 

 

Selain itu, juga pembinaan terhadap naskah dinas pada lembaga pemerintah. Berbagai kegiatan ini sudah berlangsung kurun 6 tahun terakhir. Meski belum begitu sempurna, namun usaha untuk memperbaiki wajah ruang publik sudah terlihat ke arah yang lebih baik. 

 

Upaya lainnya dilakukan oleh Kantor Bahasa Babel adalah dengan melakukan pembinaan bahasa Indonesia bagi jurnalis. Hal ini bertujuan agar bahasa yang digunakan oleh media massa sesuai dengan kaidah, namun tetap dalam ragam jurnalistiknya masing-masing. Kenapa jurnalis? karena wartawan dipandang sebagai salah satu penjaga marwah bahasa Indonesia. 

 

Selain itu, Kantor Bahasa Babel juga menggandeng Ombudsman RI Provinsi Babel dalam memberi perhatian terhadap penggunaan bahasa Indonesia di fasilitas umum. Tujuannya untuk memastikan bahwa masyarakat mendapat informasi yang baik dan benar dari penyedia layanan. Fasilitas umum yang juga merupakan ruang publik harus dipastikan dapat memberi kemudahan bagi masyarakat dalam mendapatkan pelayanan yang prima. Salah satunya adalah dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga pesan yang disampaikan mudah dimengerti atau dipahami. 

 

Berbagai kegiatan tersebut bukan berarti menolak bahasa asing. Boleh saja pengguna ruang publik memakai bahasa asing, tidak haram. Syaratnya, ukuran bahasa asing harus lebih kecil, warnanya tidak lebih mencolok dari bahasa Indonesia, dan posisinya berada di bawah atau setelah bahasa Indonesia. Ketentuan yang adil dan tidak memberatkan. 

 

Tentu kita berharap, bahasa Indonesia menjadi kebanggaan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Mungutamakan bahasa Indonesia adalah sikap positif, mengetahui kaidah bahasa Indonesia adalah perilaku berbahasa yang positif. Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing.(**)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: