Dodot: Stop Eksport Timah, Produk Hilirisasi yang Bagaimana? Diimpor Lebih Murah?
Ketua Asosiasi Industri Timah Indonesia (AITI) Ismiryadi saat RDP dengan Komisi VII DPR RI, Senin (28/11)- FOTO: ist-
RENCANA pemerintah untuk menghentikan eksport timah 2023 mendatang, tampaknya terlalu berisiko jika langsung dilakukan serta merta tanpa diiringi kesiapan hilirisasi yang matang. Karena komoditas timah jauh berbeda dengan produk tambang lainnya seperti nikel yang sudah dihentikan ekspornya.
Ketua Asosiasi Industri Timah Indonesia (AITI) H Ismiryadi alias Dodot ternyata dalam kesempatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI beberapa hari lalu yang dihadiri pula pihak Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), dengan Ketua Alwin Bahar, di Jakarta, mengungkapkan prihal alasan harus diperhitungkan secara matang tersebut.
BACA JUGA: Nasib Pilot Heli Masih Misteri, Pencarian Hari ke 5 Masih Nihil
Dalam RDP yang dipimpin Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI itu, dihadiri pula para anggota Komisi VII, termasuk diantaranya Bambang Patijaya (BPJ) yang juga Dapil serta Putra Daerah Babel, Ketua AITI yang akrab disapa Dodot itu menyatakan, imbas penghentian eskpor itu diakui akan terjadi di Babel. Karena masyarakat daerah ini masih dominan tergantung hidupnya dengan pertambangan timah.
Namun, hal yang juga harus diperhitungkan, ketika hilirisasi itu terjadi, akan berimbas pula secara nasional terutama terhadap pihak-pihak pengguna industri hilir yang berbahan baku timah. Seperti pabrik pipa, kaca, plastik, termasuk perusahaan-perusahaan elektronik serta beberapa perusahaan lain.
''Setidaknya, ada 11 jenis produk tin chemical yang diimport oleh beberapa perusahaan yang ada di Indonesia,'' ujar Dodot.
BACA JUGA:Puluhan Pelamar PPPK Tenaga Kesehatan Gugur Tahap Administrasi Karena Ini
Data itu menurut Dodot, ia peroleh berdasarkan nilai import produk tin chemical tahun 2021.
Masalahnya dimana?
Biaya import produk yang merupakan hasil hilirisasi tersebut terbilang murah, yaitu hanya 1 persen.
''Jika dibuat di Indonesia, maka akan jadi berbiaya tinggi lebih tinggi ketimbang jika diimpor? Karena akan ada PPN 11 persen dari bahan baku, royalti 3 persen, fee bursa penjualan, ini saja sudah 15 persen. Nantilah berhitung soal biaya tenaga kerja, biaya listrik, perizinan, dan segala macamnya?'' ujar Dodot kemudian.
BACA JUGA: Pom Mini Disambar Petir, Rumah Ikut Terbakar, Rugi 500 Juta
Keadaan yang terkesan 'jomplang' itu menurut Dodot, harus diperhitungkan dulu.
''Apa mungkin impor produk hilir seperti 11 produk itu dihentikan? Apa pabrik-pabrik yang butuh tidak terdampak?'' tegas Dodot.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: