NEGER
Oleh: AHMADI SOFYAN (Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya) -- RAKYAT Indonesia adalah rakyat yang sudah dididik puluhan tahun untuk terbiasa karena dipaksa \"Neger\". ------------- MENAHAN haus dan lapar karena ibadah puasa itu adalah hal yang biasa. Bahkan sangat dinikmati karena kepastian berbuka itu ada. Tapi menahan haus & lapar padahal sedang tidak puasa tapi karena terpaksa, pastinya sangat menyedihkan, apalagi kepastian menikmati waktu berbuka tak pernah ada. Sialnya, haus dan lapar itu ditengah aneka ragam makanan & minuman diatas meja. Kita hanya boleh menatap sambil menahan air liur yang hendak menetes, sedangkan orang-orang berjas dan berdasi beserta keluarga & kroninya begitu rakus menikmati seperti tak melihat keberadaan rakyat yang menahan haus & lapar serta tak pernah berbuka. Raut wajah suram menahan derita dipaksa berterima kasih dengan lontaran puji dan puja ketika sang penguasa melempar tulang & sisa makanan ke rakyat jelata dari dalam mobil mewah. Ketidakmampuan & ketiadaan sesuatu yang diharap atau tidak bisa, tidak boleh menikmati karena tak punya kuasa, lalu dipaksa menahan diri, maka dalam tutur lisan masyarakat Pulau Bangka disebut \"Neger\". So, \"Neger\" adalah perilaku keterpaksaan menahan akibat yang sangat tidak diharapkan. Rakyat Indonesia adalah rakyat yang sudah dididik puluhan tahun untuk terbiasa karena dipaksa \"Neger\". Masyarakat Papua tidur diatas bumi yang dipenuhi Emas, tapi mereka tak memiliki Emas dan makannya adalah pinang. Masyarakat Bangka Belitung lahir & hidup diatas timah, tapi rakyat Bangka Belitung tak mendapatkan timah. Mau nambang timah, siap-siap saja dikerjain mereka yang..... ah sudahlah!. Ada lagi yang hidup diatas bumi dengan kekayaan Batubara, Gas, Minyak, Pasir, tapi masyarakat pribumi-nya tak memiliki kesejahteraan melalui kekayaan yang dianugerah Tuhan tersebut. Demikian juga kekayaan-kekayaan Indonesia secara keseluruhan, tapi rakyat dipaksa untuk Neger menikmati kekayaan yang harusnya bisa mensejahterakan mereka dengan pengelolaan yang baik & benar, bukan permainan antara penguasa (pengambil kebijakan), cukong dan dinikmati keluarga beserta para penjilatnya. Jauh sebelum proklamir Kemerdekaan RI, para orangtua kita sudah \"Neger\" menikmati kekayaan alam Indonesia akibat negeri ini dikuasai para penjajah yang jumlahnya tak seberapa, tapi pengkhianatnya merajalela. Setelah kemerdekaan, era Orde Lama pun muncul, rakyat dipaksa \"neger\" karena baru merdeka. Selanjutnya era Orde Baru, lagi-lagi mayoritas rakyat masih tetap \"Neger\", hanya kroni penguasa yang menikmati. Pun kala era Reformasi sampai saat ini, masih pula rakyat diminta \"Neger\". Prihatin banget bukan? Bukankah dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dicantumkan sedemikian indah rupa dan kata: \"Bumi dan Air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat\" Tapi, nyatanya itu hanya dalam kata namun terbalik dalam fakta: \"Seluruh kekayaan milik negara dan dikelola untuk pengelola negara beserta timses dan keluarganya\". Akhirnya, Negeri gemah ripah loh jinawai toto tentrem kerto raharjo, tapi rakyat negeri ini \"Neger\" tuk menikmati. Jangankan itu, untuk bebas bersuara saja, akhir-akhir ini dipaksa untuk \"Neger\", kalau tidak, siap-siap diperlakukan dengan berbagai Pasal yang bikin hidup jadi sial. Kok bisa jadi begini? Bisa dong...! Begitu nampak di depan mata sejak lama, yang bodoh tapi pandai menjilat diberi tempat, yang pintar & benar serta berkualitas dihujat, berani jujur dipecat! Indonesia adalah negeri yang kaya akan segalanya ini, kecuali kejujuran yang masih kurang. Ditambah lagi sudah tidak jujur, pengecut pula. Apalagi pada negara-negara yang dihutangi. Nah lho?! Ternyata untuk sebuah keberanian saja kita masih Neger. Salam Neger!(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: