20 Tahun Percaya

Oleh: Faizal Djoang - GM Babel Pos -- TERNYATA ancaman terbesar koran bukan pandemi. Bukan juga media online dan medsos. Tapi kepercayaan! ---------------- ITULAH kesimpulan setelah 1,5 tahun pandemi. Lalu membaca hasil penelitian Dewan Pers dan Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta. Akhir bulan lalu. Kenapa bukan pandemi Covid-19? Tadinya pandemi memang menakutkan koran. Banyak pembaca takut memegang koran. Alasannya: khawatir jadi media penularan. Koran kehilangan pelanggan. Pemerintah pun melakukan refocusing anggaran. Koran semakin tertekan. Kekhawatiran itu saya tulis dalam HUT Babel Pos 19 tahun. Tanggal ini. Bulan ini. Tahun lalu. Tapi waktu membuktikan. Meski menyakitkan, pandemi dan efek berantainya tidak sampai mematikan koran. Memang banyak koran di beberapa daerah yang mati. Tapi tidak terjadi di Serumpun Sebalai. Kini sepertinya kita sudah di ujung pandemi. Kasus positif Covid-19 semakin turun. Yang meninggal dunia semakin berkurang. Yang sembuh semakin bertambah. Keterisian rumah sakit pun turun. Masyarakat yang divaksin terus bertambah. Herd immunity sudah dekat. Ekonomi terlihat bergerak. Tanda-tanda baik. Juga buat koran. Tapi soal kepercayaan memang jadi ancaman. Bukan hanya koran. Tapi juga media online dan medsos. Lihatlah hasil penelitian Dewan Pers bekerja sama dengan Universitas Prof Dr Moestopo. Hasilnya dibeberkan Hendry Ch Bangun dari Dewan Pers. Ditulis Dahlan Iskan di laman disway.id, 24 September lalu. Beberapa kesimpulannya: kepercayaan masyarakat kepada koran tidak lebih tinggi dibanding medsos. Dari 1.020 responden, 32 persen mengatakan tidak percaya pada koran. Angka itu kurang lebih sama terhadap medsos. Termasuk televisi. Bahkan 30 persen masyarakat tidak percaya pada media apa saja. Nah! Mengapa responden tidak percaya pada koran? Hampir 40 persen mengatakan beritanya tidak bisa dipercaya. Koran juga dinilai partisan. Dan wartawannya kurang kompeten. Alasan yang sama mengapa responden tidak percaya pada berita medsos dan TV. Jurnalisme koran ternyata dianggap tidak lebih baik dari online dan TV. Bahkan dianggap sama. Sering menampilkan berita hanya dari satu sumber berita. Kemunculan online memang membuat pergeseran tidak hanya cara mengkonsumsi informasi, tapi juga cara memproduksi berita. Pewarta yang terbiasa menulis untuk koran, dulu punya waktu seharian. Narasumber lebih dari satu. Lebih lengkap berimbang. Kini kawan-kawan wartawan harus mengutamakan kecepatan. Terbit online duluan. Konfirmasi bisa menyusul belakangan. Kala konfirmasi gagal didapat, terbit dipaksakan. Gaya online terbawa di koran. Pandemi pun merubah cara liputan. Physical distancing membuat batasan. Wawancara tak boleh hadap-hadapan. Lebih banyak via smartphone atau rilis ke wartawan. Akibatnya berita jadi kurang dalam. Pembaca tak terpuaskan. Inilah tantangan koran. Pun online. Semua media. Para jurnalis. Juga untuk kami. Babel Pos yang hari ini genap 20 tahun. Media adalah bisnis kepercayaan. Kami menyadari itu. Kami terus berproses. Mengembalikan kepercayaan itu. Tak mudah. Tapi bukan tak mungkin. Dua dasawarsa bukan waktu singkat. Meski juga belum tua untuk ukuran eksistensi media. Waktu dan teknologi membuat Babel Pos harus berubah. Kini semakin lengkap dengan online babelpos.co dan sosial media. Ada Belitong Ekspres dan belitongekspres co.id di Pulau Belitung. Semua untuk kepuasan pembaca dan mitra. Kami percaya masyarakat Babel masih percaya. Dan kami yakinkan kami bisa dipercaya. Terima kasih pembaca. Terima kasih Bangka Belitung.(**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: