Harga Mati: Tolak PLTN di Bangka Belitung

Harga Mati: Tolak PLTN di Bangka Belitung

Ujang Supriyanto --Foto: ist

Oleh: Ujang Supriyanto

Ketua Simpul Babel & Mahasiswa Ilmu Komunikasi Institut Pahlawan 12 Bangka Belitung

___________________________________________

Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Bangka Belitung oleh PT Thorcon Power Indonesia akhirnya kandas. Perusahaan yang semula digadang-gadang membawa “energi bersih” ke negeri serumpun sebalai itu, kini memilih mundur teratur di tengah penolakan masyarakat. Namun di balik kabar ini, tersimpan pelajaran penting bahwa penolakan tersebut bukan semata gerakan emosional, melainkan ekspresi rasional dari kesadaran ekologis, sosial, dan politik warga Bangka Belitung.

PLTN dan Paradoks Pembangunan Energi

Dalam narasi global, energi nuklir sering diklaim sebagai solusi atas krisis energi fosil dan perubahan iklim. Namun bagi Bangka Belitung, proyek ini justru menghadirkan paradoks pembangunan. Di satu sisi, pemerintah mendorong transisi energi bersih melalui bauran Energi Baru Terbarukan (EBT), tetapi di sisi lain justru membuka ruang bagi teknologi berisiko tinggi seperti PLTN.

Secara geografis, Bangka Belitung bukan wilayah yang ideal untuk reaktor nuklir. Daerah ini merupakan gugusan pulau kecil yang rentan terhadap abrasi, kenaikan muka air laut, dan erosi pantai. Dengan kepadatan penduduk di pesisir serta ketergantungan ekonomi pada kelautan dan pariwisata, potensi risiko sosial dan ekologis jauh lebih besar dibandingkan manfaat ekonominya.

Sebagaimana dikemukakan Ulrich Beck dalam teori Risk Society (1992), modernitas membawa risiko-risiko baru yang lahir dari teknologi ciptaan manusia itu sendiri. PLTN adalah contoh konkret manufactured risk — risiko buatan yang dampaknya bisa lintas generasi, sulit dikendalikan, dan berpotensi melahirkan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Krisis Komunikasi Publik dan Partisipasi

Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, saya memandang persoalan PLTN ini bukan hanya urusan teknis energi, tetapi juga masalah komunikasi publik dan partisipasi warga. Sosialisasi proyek PLTN di Bangka Belitung cenderung bersifat top-down dan tertutup. Masyarakat hanya disuguhi narasi “modern dan ramah lingkungan”, tanpa dialog kritis yang melibatkan nelayan, akademisi lokal, hingga komunitas adat.

Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa keberhasilan proyek berteknologi tinggi seperti PLTN sangat bergantung pada trust (kepercayaan) dan legitimasi sosial. Ketika masyarakat merasa tidak dilibatkan, mereka akan menolak bukan karena tidak paham, melainkan karena tidak dipercaya dan tidak diberi ruang menentukan masa depan daerahnya sendiri.

Komunikasi risiko seharusnya tidak berorientasi pada promosi, tetapi pada transparansi dan edukasi. Dalam hal ini, pemerintah maupun korporasi gagal membangun komunikasi dua arah yang sehat dengan publik Bangka Belitung.

BACA JUGA:HIKMAH DARI KDM

BACA JUGA:TKD ANJLOK DAN SKEMA TATA KELOLA PAD DI DAERAH

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: