HIKMAH DARI KDM
Masmuni Mahatma--
Oleh Masmuni Mahatma
BABELPOS.ID, - Kang Dedi Mulyadi (KDM), mula-mula hadir dan tampil sebagai tokoh biasa.
Eks Bupati Purwakarta yang lekat dengan pakaian serba putih atau pangsi Sundawi itu, mengambil tampilan dirinya mirip-mirip “resi.”
Pakaian serba putih termasuk ikat kepalanya, konon lantaran KDM hendak terus berpadu dengan spirit kepekaan demi mengawal kualitas alam semesta dan lingkungan Tatar Sunda yang teduh, sejuk, dan mempesona.
Bahkan bahan dan desain pakaian serba putih yang sederhana itu filosofinya adalah bentuk komitmen integralistiknya atas budaya leluhur dan kearifan lokal ke-Sunda-an, tempat lahir dan bertumbuhnya KDM sebagai manusia.
BACA JUGA:Kakanwil Kemenkum Babel Hadiri Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Bangka
Belakangan, diakui atau tidak, KDM mulai hadir sebagai “fenomena.”
Dalam bahasa kaum filsafat, KDM bukan hanya muncul untuk “ada” melainkan juga terus “mengada” dan “berkarya.”
Ia tahu dirinya adalah “materi” sama seperti manusia pada umumnya.
Akan tetapi, tampak ia pun sadar bahwa dirinya merupakan “substansi,” “esensi,” “nilai,” dan “otoritas” yang mesti bertransformasi optimal dalam perspektif kultural maupun spiritual.
Atau, dalam paradigma lebih maju, transformasi diri yang digeliatkan KDM sejatinya menuju apa yang oleh para ahli hikmah dikategorikan proses penempaan dari dan untuk “insanul kamil,” manusia bersahaja.
KDM memang tidak pernah mendaulat diri sebagai manifestasi atau representasi tunggal ideologi dan arkeologi keyakinan-spiritualitas budaya Sunda seutuhnya.
Ia terlihat menghindar atau menjauh dari tipologi ini.
Apalagi ia bukan keturunan bangsawan-bangsawan Sunda meskipun juga pernah secara spontan menyatakan boleh pula dipanggil “raja” dari Pasundan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:

