Insinerator dan Masa Depan Sampah Perkotaan
Sisa pembakaran dari mesin insinerator di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) konvensional Sandubaya, Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat.--Foto Antara
Hasil uji coba cukup mengejutkan karena dari 3–5 ton sampah yang dibakar setiap hari, hanya tersisa 9–10 kilogram residu. Bahkan residu itu sedang diuji coba untuk diolah menjadi batako, sehingga benar-benar minim limbah.
Pemkot Mataram menargetkan tiga unit insinerator beroperasi di Sandubaya, masing-masing berkapasitas 10 ton per hari. Jika ketiganya berjalan penuh, 30 ton sampah bisa dikurangi per hari.
Ditambah pengolahan di TPST modern Sandubaya yang mampu menangani 50 ton, maka pembuangan ke TPA bisa ditekan signifikan, tinggal sekitar separuh dari total sampah harian kota.
Namun, jalan menuju efisiensi tidak sepenuhnya mulus. Insinerator butuh daya listrik besar, hingga 33.000 watt untuk satu unit. Pemerintah Kota Mataram harus mengusulkan tambahan daya ke PLN dan menyiapkan anggaran sekitar Rp30 juta melalui APBD perubahan.
Selain itu, sumber daya manusia juga menjadi kendala. Dengan tiga unit insinerator, minimal enam operator harus disiagakan, sementara tenaga kebersihan lapangan sudah menipis.
Jejak kota lain
Jika menoleh ke kota lain, Mataram sebenarnya bisa belajar banyak. Jakarta, misalnya, tengah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Sunter dengan kapasitas 2.200 ton per hari. Proyek bernilai triliunan rupiah ini menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara, meski prosesnya panjang akibat persoalan regulasi, biaya, dan keberatan warga sekitar.
Di Bekasi, insinerator berkapasitas 100 ton per hari sudah dioperasikan sejak beberapa tahun lalu. Teknologi ini terbukti mampu memangkas ketergantungan kota pada TPA Bantargebang, yang selama ini menjadi simbol krisis sampah Jabodetabek. Meski begitu, biaya pengolahan per ton sampah di Bekasi sempat dikritik terlalu tinggi.
Sementara itu, Surabaya menjadi contoh kota dengan pengelolaan sampah relatif maju. Selain insinerator, Surabaya memanfaatkan bank sampah, komposting, hingga pemilahan berbasis warga.
Kombinasi teknologi dan partisipasi publik membuat volume sampah yang masuk ke TPA Benowo bisa ditekan drastis. PLTSa Benowo, bahkan menghasilkan listrik sekitar 11 megawatt yang dijual ke PLN.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan sampah dengan insinerator tidak hanya ditentukan mesin, tapi juga ekosistem pendukung, kebijakan yang konsisten, anggaran, serta keterlibatan warga.
Secara teknis, insinerator di Mataram menunjukkan hasil positif. Residu sangat kecil, biaya operasional lebih hemat, dan ketergantungan pada TPA berkurang. Wali Kota Mataram bahkan menyebutnya sebagai solusi jangka panjang yang lebih ramah lingkungan dibanding sekadar “buang ke TPA”.
Meskipun demikian, catatan kritis tetap ada. Pertama, insinerator tidak bisa bekerja sendirian. Sampah yang dibakar tetap perlu dipilah, karena bahan berbahaya atau logam berat tidak bisa langsung masuk mesin.
Kedua, uji emisi harus dilakukan rutin untuk memastikan udara yang keluar memenuhi baku mutu. Dinas Lingkungan Hidup Mataram sudah merencanakan laboratorium pemantau kualitas udara, sebuah langkah penting untuk menghindari risiko kesehatan.
Selain itu, biaya pengadaan insinerator tidak kecil. Satu unit bisa mencapai Rp3,5 miliar. Jika rencana satu insinerator per kecamatan diwujudkan, beban APBD tentu berat. Di sinilah dukungan pemerintah pusat dan kerja sama swasta sangat dibutuhkan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
