Etika Berpolitik
Jika islah politik dianggap “kegaduhan” baru dan berpotensi mengingkari loyalitas konstituen, semua perlu kembali pada etika berpolitik. Semangat etik berpolitik mengandaikan bahwa yang berkonflik, sebagaimana pepatah, segera duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, mengawinkan pelbagai aspirasi, mengintegrasikan hal positif, mendistorsi aspek negatif serta menakar ulang konsekuensi logis dalam lalu lintas politik keumatan secara universal. Ini bukan sekadar seruan, tetapi sedemikian prinsipil dan urgens untuk dimanifestasikan. Bagaimana pun politik bukan semata “energi sistemik,” namun medium mengasah potensi dan kualitas budi pekerti kemanusiaan guna kedewasaan berdemokrasi.
Dalam negara demokrasi, partai politik (parpol) tidak boleh dibiarkan konflik berlarut. Parpol itu salah satu pilar demokratisasi berbangsa. Legitimasi demokrasi memerlukan kehadiran parpol. Sebab ia dipandang cakap dan “professional” mengelola aspirasi serta memobilisasi massa demi kepentingan netralisir konflik dan mengartikulasi desakan politis publik. Cita-cita luhur sosial kebangsaan dan kenegaraan berbasis kehendak masyarakat akan cepat ditangani lewat kemitraan parpol dengan kerja-kerja politiknya. Namun untuk mencapai hal ini, diperlukan etika berpolitik dalam perspektif yang lebih konstruktif-dedikatif. Sehingga parpol senantiasa menapasi harkat dan martabat manusia sekaligus menjadi “fasilitator” pendidikan berdemokrasi.
Partai politik, kata Chozin Chumaidy (2006), salah satu tokoh panutan PPP, harus ditumbuhkan, dibesarkan, dan dikembangkan atas dasar etika berpolitik. Terlebih PPP, sebagai parpol berbasis keumatan, tidak boleh hanya dirasuki dan disuguhkan ke hadapan publik semata melalui arogansi, egoisme, eksploitasi, manipulasi, apalagi hegemoni terhadap aspirasi konstituen. Parpol, lanjut Chozin (2006 : 99-100), disamping sarana komunikasi politik antar warga, sarana sosialisasi spirit, nilai-nilai, orientasi, sejatinya juga sarana rekruitmen kader politik di kalangan masyarakat. Ini tidak bisa disepelekan. Sebab etika berpolitik cukup berat, membutuhkan obyektifitas, keteladanan diri, ketulusan, kematangan, kedewasaan, dan public trust.
Ala kulli hal, untuk mengenali aktifitas (aktifis) parpol yang mempunyai etika berpolitik dan kepekaan serta loyalitas berbangsa, menyontek tuturan puitik Raja Ali Haji (2000 : 5), patut dilihat pada budi dan bahasanya.“Jika hendak mengenal orang berbangsa/lihat kepada budi dan bahasa//. Saling membahasakan kehendak dengan perilaku lempar kursi, gerakan fisik liar dan (mungkin) pula serupa barbar, friksi dan konflik tidak produktif, bukan budi pekerti dan bahasa etika berpolitik khas PPP. Dalam tubuh PPP, mengalir napas moralitas politik ulama dan umat teladan. Maka islah (politik) PPP, jadikan teladan kepatutan berpolitik, bukan sekadar “langkah taktis” demi mencaplok kepentingan parsialistik. Umat menunggu PPP, menanti PPP berkarya.
BACA JUGA:Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Pulau Gelasa Ibarat Pisau Bermata Dua
BACA JUGA:Reshuffle Kabinet Prabowo: Apakah SDM Ekonomi Indonesia Sudah Siap Menghadapi Tantangan Global?