Oleh: Masmuni Mahatma
Ketua Tanfidziyah PWNU Babel dan Kabiro AAKK UIN Imam Bonjol Padang
___________________________________________
Kisruh politik internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) usai Muktamar ke X di Kawasan Ancol, Jakarta (27-28/09/25), tak berlangsung lama. Di luar dugaan, tiba-tiba terjadi islah, rekonsiliasi, dan menyepakati struktur kepengurusan gabungan. Kabarnya, langkah ini dimediasi salah satu sosok yang kini berjaya di lingkaran Presiden Republik Indonesia. Difinalisasi melalui sentuhan terbuka Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, yang secepat kilat menandatangani Surat Keputusan (SK) kepengurusan PPP dan membagikan di hadapan (tokoh simbol) dua kubu yang berseteru. Sekali lagi, di luar prediksi. Inilah pergulatan politik. Meliuk dan seketika menekuk.
Setidaknya ada dua perspektif yang (mungkin) bisa dipakai mencermati dan memaknai islah (politik) PPP lewat Kementerian Hukum ini. Pertama, “kehendak politis” istana. Di permukaan tampak sulit dibuktikan, tapi dari desas-desus tidak begitu sukar “ditebak” dan “diraba-raba.” Mardiono, yang didapuk sebagai Ketua Umum, telah dimafhumi memiliki irisan dan kedekatan dengan Prabowo sejak pemerintahan Presiden Jokowi meski secara koalisi kemarin berada di seberang jalan. Namun demikian, istana selalu membutuhkan stabilitas politik demi menjalankan roda pemerintahan dan program unggulan yang dicanangkan.
Kedua, kompromi dan sharing kekuasaan. Tidak mungkin Agus Suparmanto, yang secara aklamasi terbuka dinyatakan sebagai Ketua Umum terpilih 2025-2030 di Muktamar Ancol tega-teganya mengkhianati suara barisan pendukung tanpa nalar politik kalkulatif-realistik. Seperti sering berhembus kencang, politik tidak akan pernah datar-datar saja. Selalu ada hal yang “disenyawakan” dan “dinegosiasikan.” Orientasi politik cukup terang, yakni demi meraih dan memangku “nikmat” dari pada kekuasaan. Ini kamus umum dalam konteks perpolitikan. Apalagi PPP mulanya merupakan "rumah besar" politik umat Islam. Rekam jejak historisnya cukup nyata adalah bagian dari “saham politik” Indonesia yang kita cintai bersama.
BACA JUGA:Mimpi Hijau Anak Negeri Timah
BACA JUGA:Koperasi Merah Putih: Jalan Tengah Ekonomi Rakyat Timah di Era Prabowo
Reorientasi Politik
Islah, rekonsiliasi, berpadu kembali usai bertikai, adalah tetap bagian dari aktualisasi berpolitik. Terlebih politik bukan sekadar budaya letuskan “ambisi kuasa” atau "letupan aspiratif" dari arus imajinasi, angan-angan, atau cita-cita menguasai panggung kekuasaan. Politik tidak juga cuma "perhelatan" berbasis massa dengan setumpuk tendensi pragmatis-materialistik di hadapan negara dan publik. Politik itu, menirukan dialek Aristoteles, adalah seni mengartikulasi-aktualisasi dan transformasi mimpi sekaligus masa depan kehidupan rakyat. Pelbagai hak, kewajiban, stimulan, panggilan dan akuntabilitas moral (sosial) publik mesti dijadikan acuan serta racikan bumbu-bumbu demokratisasi internal sekaligus eksternal partai.
Mencermati kisruh keterbelahan (klaim) dan islah politik kepengurusan PPP usai “bergelut,” apakah termasuk kemajuan, berkah, atau justru “kegaduhan” baru yang kian mencederai aspirasi konstituen, terpulang pada niat, kejujuran, ketulusan, dan komitmen holistik. Sekira dikategorikan kemajuan dan berkah, islah ini seyogianya dijadikan modal dan model reorientasi politik, terutama bagi elit, aktifis, konstituen, dan simpatisan PPP di seluruh lapisan. Reorientasi politik ini bukan sekadar memoles atau memperbaiki tampilan sebagian sisi wajah PPP, melainkan menguatkan akar dan strategi politik keumatan ke depan. Sehingga mayoritas piranti politik PPP tidak terus menempatkan politik kepartaian sebagai aktifitas dan interaksi ambisius-individualis. Politik bukan ruang tempa penyuburan benih "kepentingan" apalagi "kooptasi" dan "manipulasi" yang justru mendistorsi aspirasi serta hak politik konstituen.
Andrew Heywood (2014 : 10), secara gamblang mensinyalir bahwa politik merupakan cara memecahkan konflik melalui keterbukaan, kompromi, perdamaian, dan negosiasi. Sekira ada kepentingan di dalam politik, seyogianya ditata dan diaktualisasikan semata menemukan solusi realistik-kolektif. Bukan terus memperuncing friksi dan pertengkaran. Apalagi disertai perilaku kurang etik, gesekan fisik, lempar kursi, dan saling menjatuhkan martabat sosial di hadapan publik. Bahkan Bernard Crick sembari diulas lagi oleh Heywood (2014 : 13), tegas menyatakan politik ialah aktifitas mengelola kepentingan secara produktif-kontributif. Perbedaan kepentingan harus didamaikan meskipun dengan cara memberikan kekuasaan demi bersama-sama mewujudkan kesejahteraan terhadap konstituen.
Reorientasi politik, terlebih pasca islah, adalah keniscayaan. Patut diinternalisasi bersama dalam tubuh PPP. Sebagaimana nalar Hannah Arendt, lanjut Heywood ((2014 : 11), betul bahwa politik merupakan aktifitas manusia yang paling penting. Sebab ia membuka ruang simpati dan empati diantara masyarakat (warga) yang merdeka dan juga setara. Melalui interaksi sosial seperti ini, mereka bisa saling mensupport dan memberikan makna positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hak dan kewajiban sosial individu tidak dibiarkan berjalan searah yang kelak sangat egoistik-individualistik, melainkan diolah edukatif demi saling memahami, memaknai, menghargai, sekaligus menjadikannya wasilah melahirkan kebajikan komunalistik.
BACA JUGA:Fiskal Infus, Janji Melimpah Menakar Kepemimpinan Baru Pangkalpinang Di Tengah Napas APBD yang Sesak
BACA JUGA:QRIS Tap: Jelajah Rasa dengan Kecepatan Digital