Jujur saja, kami anak muda tentu bisa bersuara demi keadilan, tapi kapan kami sempat meningkatkan SDM untuk mengelola SDA jikalau masalah keadilan yang sulit terus terulang. Terlihat seperti membuang-buang waktu menghadapi orang-orang serakah dan ketidakadilan dunia, tapi sudahlah.
Sekarang mari kita buka mata melihat juga mendengar bukan satu maupun dua orang turis berkata bahwa “pulau Bangka dilihat dari atas pesawat, banyak bolong-bolong nya ya."
Rusak? Iya!
Jelek? Iya!
Miris? Tentu saja!
BACA JUGA:Cyber Crime: Teknologi Senjata Kejahatan
BACA JUGA:TPP ASN: Kebutuhan Ekonomi Tambahan atau Gaya Hidup ASN?
Sudahlah rusak akibat penambangan ilegal demi penghidupan warga, ditambah lagi kapitalis yang rakus. Ini bukan hanya memunculkan efek satu kali, tapi efek domino atau berulang. Warga minoritas, secara tidak langsung akan meminta turunannya untuk menambang juga demi sesuai nasi, dan tentu anak-anak mereka akan meng-iyakan, karena yang merah lebih menggiurkan daripada yang putih, beberapa dari mereka yang tidak bisa memecah fokus, akan melepas sekolahnya karena uang lebih menggiurkan daripada kertas di buku sekolah.
Dampaknya apa? Timah ini sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, jika habis mereka mau kerja apa? Pengangguran? Tentu masalah baru muncul, dimana prediksi kriminalitas meningkat akan semakin benar. Penulis rasa, jika melihat permasalahan seperti ini, Indonesia belum pantas untuk berfokus ke sustainable-nya.
Sebenarnya, Bangka adalah pulau yang dianugerahi timah melimpah. Tapi, benarkah masyarakatnya kaya?
Mari kita jujur, jika memang SDA kita dikelola dengan adil dan transparan, mengapa masih banyak masyarakat yang hidup pas-pasan?
Mengapa masih banyak anak yang harus mengubur mimpinya karena ketidakmampuan? Karena sistem yang dibangun lebih menguntungkan segelintir pemilik modal. Kapitalisme tambang menghisap habis sumber daya, meninggalkan rakyat dengan tanah yang tandus dan janji-janji manis dari mulut yang penuh dosa.
Ketika mahasiswa dan rakyat menjadi oposisi kebaikan, sudah banyak aksi mahasiswa yang menggugat ketimpangan ini. Tapi suara mereka sering dianggap bising. Demonstrasi dicap sebagai gangguan ketertiban bahkan gongnya oknum pendemo bisa dibungkam dengan kertas merah, mau percaya dengan siapa lagi?.Audiensi hanya formalitas. Seolah-olah negara menutup mata pada apa yang terjadi di lapangan.
Kita seakan hidup di dua dunia, Di satu sisi, pemerintah menyebut pertambangan sebagai penopang ekonomi daerah. Di sisi lain, masyarakat melihat lubang-lubang tambang sebagai lubang kubur masa depan.
BACA JUGA:Royalti Timah: Siapa Sebenarnya yang Kegirangan?
BACA JUGA:Refleksi Moralitas Publik: Ujian Empati dan Prioritas- Royalti Untuk Rakyat atau Tambahan TPP ASN?