Oleh: Christianingrum, S.Pd.,M.M
Dosen Jurusan Manajemen FEB UBB
___________________________________________
Generasi milenial dan Gen-Z telah menjadi kekuatan utama dalam demografi Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024, jumlah generasi milenial (kelahiran 1981-1996) mencapai sekitar 70 juta jiwa, atau sekitar 26% dari total populasi. Sementara itu, Gen-Z (kelahiran 1997-2012) mencakup sekitar 75 juta jiwa, atau sekitar 28% dari total populasi. Kedua kelompok ini berperan penting dalam perekonomian negara karena mereka menjadi segmen konsumen terbesar yang menggerakkan pasar barang dan jasa.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang dikenal sebagai "doom spending," yaitu perilaku konsumsi impulsif yang didorong oleh kecemasan dan ketidakpastian. Generasi milenial dan Gen-Z, yang tumbuh dalam era digital dengan akses mudah ke platform belanja daring, cenderung terjebak dalam pola pengeluaran ini. Fenomena ini semakin menonjol di tengah ketidakpastian global seperti pandemi COVID-19, inflasi, dan krisis ekonomi. Fenomena doom spending di kalangan generasi muda Indonesia memiliki implikasi yang signifikan terhadap perekonomian, baik dari perspektif konsumen maupun dari sudut pandang pemasaran.
Dari kacamata marketing, fenomena doom spending menawarkan peluang sekaligus tantangan bagi pelaku bisnis. Di satu sisi, perilaku konsumsi impulsif memberikan dorongan bagi industri ritel dan e-commerce. Banyak perusahaan yang memanfaatkan kondisi emosional konsumen milenial dan Gen-Z dengan menawarkan kampanye iklan yang didesain untuk memicu keputusan pembelian cepat. Algoritma digital, yang mampu menganalisis perilaku konsumen secara mendalam, menjadi senjata utama dalam memasarkan produk dengan cara yang lebih personal dan menggoda.
BACA JUGA:DEMOKRASI DITENGAH POLITIK BRUTUS-ISME
BACA JUGA:Aksi Kemanusiaan PMI Babel dalam Mitigasi Krisis Iklim, Nyawa Pasien DB Banyak Terselamatkan
Namun, marketing yang terlalu fokus pada mendorong konsumsi impulsif dapat membawa konsekuensi jangka panjang yang kurang menguntungkan bagi konsumen. Dalam jangka pendek, fenomena doom spending mungkin meningkatkan penjualan dan memperkuat merek, tetapi dalam jangka panjang, hal ini dapat merugikan konsumen dan memicu masalah keuangan yang serius. Banyak dari milenial dan Gen-Z yang melakukan doom spending menggunakan kartu kredit atau pinjaman online, yang pada akhirnya menumpuk utang dan mengurangi daya beli mereka di masa depan. Perilaku konsumtif ini bisa menjadi bumerang bagi para pelaku usaha jika generasi ini mulai kehilangan kemampuan untuk berbelanja karena terlilit utang.
Dari sudut pandang perekonomian, doom spending dapat membawa pengaruh positif dan negatif. Dalam jangka pendek, lonjakan konsumsi yang dipicu oleh perilaku impulsif ini mendorong pertumbuhan sektor ritel dan jasa. Perusahaan e-commerce, perbankan digital, dan sektor keuangan lainnya mendapatkan keuntungan dari peningkatan transaksi yang dilakukan oleh konsumen milenial dan Gen-Z. Berbagai platform seperti Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak melaporkan peningkatan transaksi yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama selama momen-momen seperti Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional) dan promo-promo musiman lainnya.
Namun, jika fenomena doom spending tidak dikendalikan, hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam ekonomi konsumen. Milenial dan Gen-Z, yang seharusnya menjadi penggerak utama perekonomian masa depan, mungkin menghadapi masalah keuangan yang lebih besar jika mereka terus terjebak dalam pola konsumsi berlebihan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi kemampuan generasi ini untuk berinvestasi, menabung, atau membangun aset, yang akhirnya mempengaruhi stabilitas keuangan pribadi mereka dan perekonomian nasional.
BACA JUGA:Gen-Z Lebih Lemah Dari Generasi Sebelumnya, Benarkah?
BACA JUGA:Keterampilan Esensial Seorang Akuntan agar Sukses di Era Digital
Selain itu, doom spending juga dapat berdampak pada tingkat produktivitas dan kesejahteraan individu. Konsumsi berlebihan yang didorong oleh stres atau kecemasan sering kali tidak disertai dengan peningkatan produktivitas. Akibatnya, generasi muda yang terjebak dalam lingkaran utang dan pengeluaran berlebihan cenderung menghadapi kesulitan dalam merencanakan masa depan mereka secara finansial. Situasi ini diperparah dengan tingginya tekanan sosial untuk mengikuti tren gaya hidup yang dipromosikan melalui media sosial dan influencer, yang semakin memperkuat siklus doom spending.
Di sisi lain, fenomena ini juga memberikan peluang bagi pemasaran yang lebih etis dan berkelanjutan. Pelaku usaha dapat memanfaatkan momentum ini untuk mengedukasi konsumen tentang pentingnya pengelolaan keuangan yang baik. Kampanye yang berfokus pada literasi keuangan, promosi produk-produk yang mendukung gaya hidup hemat dan berkelanjutan, serta penawaran yang lebih memperhatikan kesehatan finansial konsumen dapat menciptakan loyalitas jangka panjang di antara generasi milenial dan Gen-Z. Brand yang mampu menyeimbangkan antara dorongan untuk konsumsi dengan tanggung jawab sosial dan finansial dapat memperoleh kepercayaan dan loyalitas konsumen.