Membangun "cultural resilience" pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara

Jumat 31-05-2024,07:11 WIB
Reporter : Risi Grisna Yurika
Editor : Jal

Ki Hadjar Dewantara menyebut peran keluarga dan masyarakat sekitar yang menyebabkan kebudayaan bangsa tetap melekat pada diri tokoh tersebut termasuk dirinya yang besar dari pendidikan Barat.

Para tokoh tersebut ketika masih anak-anak dan pemuda-pemuda hidup di rumah keluarganya masih dapat mengecap suasana kultural serta mendapat pengaruh dari berbagai tradisi kebudayaan lingkungannya sekalipun bukan dalam bentuk pendidikan budaya modern.

Di masa kini keteguhan memelihara kebudayaan bangsa tersebut dapat disebut cultural resilience.

Bagi Ki Hadjar Dewantara, Indonesia bukan Belanda, bukan Inggris, bukan Amerika. Indonesia adalah Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Padang.

Indonesia bukan Amsterdam, Leiden, Utrecht, Groningen, bukan juga London, Cambridge, serta bukan juga kota-kota universitas Amerika.

Bangsa Indonesia wajib menunjukkan kepada dunia, bahwa Indonesia cukup bebas dan merdeka serta berdaulat, untuk memilih sendiri segala apa yang kita perlukan.

Barat tidak boleh dianggap mutlak jelek. Banyak ilmu pengetahuan yang harus dikejar sekalipun dengan melalui sekolah-sekolah Barat.

BACA JUGA:21 PSN sektor transportasi rampung pada 2023

BACA JUGA:Dul, penggiat pendidikan di pedalaman Meratus

Asas Trikon

Di Indonesia kini juga banyak pendidikan dan pengajaran yang dilakukan berdasarkan sistem asing seperti dari Australia, Jerman, Arab, Turki, Tiongkok, atau Korea.

Ini tidak mengapa, asalkan kepada anak-anak diberi pendidikan kultural dan nasional yang semua-semuanya bertujuan ke arah keluhuran manusia, nusa dan bangsa, tanpa memisahkan diri dari kesatuan kemanusiaan.

Untuk dapat mencapai tujuan tersebut Ki Hadjar Dewantara berpesan untuk mendidik anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri.

Di samping itu anak-anak harus mempelajari hidup kejiwaan rakyat Indonesia dengan ragam adat istiadatnya.

Dalam hal ini bukan ditiru secara mentah-mentah, namun karena bagi bangsa ini adat istiadat itu merupakan petunjuk-petunjuk yang sifat, bentuk, isi, dan iramanya telah berkembang di masyarakat.

Semboyan yang mengandung filsafat pada akulturasi kebudayaan yaitu “Asas Trikon” yang mengajarkan di dalam pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus terjadi 1) kontinuitas dengan alam kebudayaannya sendiri; 2) konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada; dan akhirnya 3) konsentris jika sudah bersatu dalam alam universal.

Kategori :