Oleh: Safari Ans.
Wartawan Senior dan Salah Satu Tokoh Pejuang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
”PEMILIH Nahdlatul Ulama (NU) diperebutkan karena anggota NU diperkirakan 120 juta orang. Sedangkan Muhammadiyah belum dilirik yang keanggotaannya mencapai 80 juta orang. Padahal Soekarno itu unsur Muhammadiyah.”
----------------
EKSPRESI data yang disampai kawan saya Denny JA dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) sangat menarik. Data itu ia posting Grup WA wartawan senior 21 dan 22 September 2023. Ia membedah profil pemilih NU dan profil pemilih Muhammadiyah. Kedua profil itu, penulis lampirkan pada halaman bawah tulisan ini. Dua organisasi umat Islam ini amat besar, sebesar perkembangan sejarahnya masing-masing.
Jika data diperbankan syariah di Indonesia yang saya perolah minggu lalu. Maka pemilih kedua organisasi ini sangat menentukan siapa Presiden dan Wakil Presiden RI setiap kali Pilpres.
Ketika Pilpres 2019 lalu, saat Bacapres Jokowi diterpa isu anti Islam, maka tidak ada pilihan lain dari Jokowi kecuali menjadikan tokoh NU untuk menjadi Bacawapres. Pilihannya jatuh kepada Mahfud MD. Tetapi last minute pendaftaran pasangan calon, Jokowi merubah pilihan ke Ma'ruf Amin ketika itu. Dan menang.
Cikal bakal lahirnya PAN pun muncul, ketika kalangan warga Muhammadiyah merasa tidak memiliki partai untuk menyalurkan hak politiknya. Dibentuklah Partai Amanah Nasional (PAN). Logo pun sama dengan logo Muhammadiyah. Hanya saja kemudian PAN menjadi partai terbuka. Artinya kader PAN tidak lagi mesti orang Muhammadiyah. Siapa saja saat ini boleh menjadi kader PAN.
Ide berdirinya PKB juga sama. NU sepakat tidak boleh terlibat politik praktis. Tapi kalangan Nahdliyin dapat menyalurkan hak politiknya melalui PKB. Logonya pun mirip dengan logo NU. Sayangnya juga PKB telah menjadi partai terbuka. Yang bukan Nahdiyin pun boleh jadi kader PKB.
Sejak PAN dan PKB menjadi partai terbuka, memang tidak bisa lagi dikatakan bahwa PAN adalah partai pemilih Muhammadiyah, dan PKB adalah partainya kalangan Nahdliyin. Suara Muhammadiyah dan Nahdiyin pun berhamburan ke berbagai partai politik saat ini.
Padahal, sejak dulu NU dan Muhammadiyah tak pernah kompak, baik dalam urusan politik maupun urusan akidah Islam dalam implementasinya. Misalnya NU dalam melaksanakan shalat Jumat harus azan dua kali, Muhammadiyah cukup sekali saja. Mengubur orang meninggal, NU harus ditalqinkan, Muhammadiyah tidak perlu. Shalat Subuh, NU perlu doa Qunut, Muhammadiyah tidak perlu. Bahkan shalawat Nabi Muhammad SAW pun, orang NU dan Muhammadiyah sangat beda. Termasuk hitungan awal puasa Ramadhan dan penentuan Hari Raya. NU menggunakan cara ru'yah (terlihat mata), sedangkan Muhammadiyah menggunakan ahlul hisap (hitungan tanggal dan bulan). Maka hari raya kedua organisasi umat Islam ini sering berbeda.
Begitu juga dalam politik. Pemilih NU tidak akan pernah memilih orang Muhammadiyah. Begitu pula pemilih Muhammadiyah tidak akan pernah memilih orang NU. Jika ada calon Presiden dan Wakil Presiden dari NU dipastikan orang Muhammadiyah tidak akan memilihnya. Bisa jadi Anies-Cak Imin tidak akan dipilih oleh pemilih Muhammadiyah, karena Cak Imin adalah Nahdiyin. Artinya 80 juta pemilih (berdasarkan KTP pada bank syariah yang diajukan Muhammadiyah) tidak akan memilih pasangan Anies-Cak Imin. Juga Muhammadiyah sulit memilih Ganjar Pranowo, kalau Cawapresnya juga dari kalangan NU.
Sayang, tokoh Muhammadiyah jarang terpilih jadi calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres di Indonesia. Padahal Soekarno itu Muhammadiyah. Saat ini, pemilih NU dan Muhammadiyah masih dalam transformasi fanatisme. Artinya jika kubu Ganjar atau kubu Prabowo masih memperebutkan suara Nahdiyin, ketinggalan zaman. Karena suara Nahdiyin hampir terkunci pada kubu Anies-Cak Imin. Apabila Ganjar atau Prabowo memaksakan diri Bacawapresnya tetap dari unsur NU, maka otomatis suara pemilih NU berjumlah 120 juta (berdasarkan data customer bank syariah yang diajukan NU) akan pecah. Sehingga bisa dipastikan, apabila ada dua Cawapres dari unsur NU dalam Pilpres kali ini, secara teoritik, akan mengalami kekalahan. Karena suara NU terbelah.