Oleh : Natasya Wimahesa
Mahasiswi D-3 Keperawatan Poltekkes Kemenkes Pangkalpinang
PADA era modernisasi, pernikahan dini masih banyak terjadi dengan berbagai sebab. Menurt WHO, pernikahan dini (early married) adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan yang masih dikategorikan anak-anak atau remaja berusia dibawah 19 tahun.
Secara umum, pernikahan dini yaitu institusi agung untuk mengikat dua lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak, baik bentuk badan, sikap, cara berfikir, serta bertindak namun bukan pula orang dewasa yang telah matang.
Sekertaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartika Sari mengatakan bahwa Jawa Timur menjadi provinsi yang paling tinggi mencatat angka perkawinan anak, tercatat 35% dari perkawinan disana adalah perkawinan dini.
Di Aceh sendiri, menurut data yang tercatat di Mahkamah Syari’iyah, Bener Merilah menjadi kabupaten dengan angka perceraian tertinggi di Provinsi Aceh. Perceraian yang terjadi didominasi oleh pasangan muda, sebagian hanya bertahan seumur jagung.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan dini pada remaja diantaranya, tingkat pendidikan remaja yang rendah semakin mendorong berlangsungnya pernikahan dini, sosial ekonomi keluarga yang dialami membuat orangtua menikahkan anak gadisnya agar tanggung jawab orangtuanya berpindah, solusi dalam menghadapi masalah remaja jika mereka melakukan perbuatan zina, kepercayaan dan adat istiadat pernikahan dini di lingkungan seperti adanya persepsi masyarakat mengenai menikah di usia muda menganggap hidup berumah tangga lebih nikmat serta khawatir akan anaknya menjadi ‘perawan tua’ atau ‘bujang tak laku’.
Dampak dari pernikahan dini memang ada dampak positif dan dampak negatifnya. Namun dengan melihat beberapa pengalaman orang-orang di lingkungan sekitar saya dan berbagai sosmed, menurut saya dampak negatif dari pernikahan dini lebih banyak dibandingkan dengan dampak positifnya.
Dampak positif dari pernikahan dini yaitu menghindarkan dari perbuatan zina, membantu mengurangi beban pada orangtua, dan belajar memikul tanggung jawab di usia dini.
Dampak negatif dari pernikahan dini antara lain yaitu kondisi rahim yang masih terlalu dini dapat menyebabkan kandungan lemah dan sel telur masih belum sempurna sehingga kemungkinan anak akan lahir secara premature atau cacat.
Anak juga bisa mengalami stunting, tingginya angka kematian ibu dan bayi, tingginya angka putus sekolah, tingginya angka pekerja anak yang rentan diberi upah rendah sehingga turut meningkatkan angka kemiskinan, ekonomi yang tidak stabil dapat memberatkan kehidupan berkeluarga, dan masa remaja adalah masa transisi yang ditandai dengan adanya gejolak emosi yang tidak stabil atau dikenal dengan masa pencarian identitas diri, kondisi jiwa yang tidak stabil akan terjadinya konflik pada hubungan suami istri dan mengakibatkan perceraian apabila masing-masing individu tidak dapat mengendalikan diri.
Jadi pernikahan dini terjadi karena berbagai faktor dan memiliki dampak negatif yang lebih tinggi apabila mental, perekonomian, dan juga kesehatan belum siap atau matang sepenuhnya.
Dari banyaknya kejadian pernikahan dini ini seharusnya orangtua menjadi role model bagi anaknya dan melindungi anak dari praktik pernikahan dini serta memberikan nasehat dan gambaran bagaimana kehidupan berumah tangga yang harus dihadapi agar nantinya tidak mengalami hal-hal yang seharusnya tidak terjadi.
Sebagai generasi penerus bangsa Indonesia sebaiknya anak-anak muda harus semangat untuk belajar dan menempuh pendidikan setinggi-tingginya untuk bekal di masa depan, menggapai cita-cita menjadi penerus bangsa yang baik, menghindari pengaruh buruk lingkungan agar terhindar dari praktik pernikahan dini. Memikirkan serta mempersiapkan secara matang sebelum melakukan pernikahan dini agar nantinya tidak terjadi penyesalan.(*)