Menurut Arifin, masa berlaku SIM yang hanya lima tahun tidak memiliki dasar hukum serta tak jelas tolak ukurannya berdasarkan kajian dari lembaga mana.
Ia juga menilai perpanjangan SIM justru membuat kerugian. Pasalnya, ia harus mengeluarkan biaya serta tenaga dan waktu untuk proses memperpanjang masa berlaku SIM.
Arifin juga menyoroti bagaimana kesulitan setiap pemohon untuk mendapat SIM mulai dari ujian teori. Pertama, hasil ujian teori tidak ditunjukkan mana jawaban benar dan salah namun hanya diberitahu kalau tidak lulus ujian teori.
Tidak hanya itu, tolak ukur ujian teori dan praktik tidak jelas dasar hukumnya, lalu ia meragukan hal tersebut apakah sudah berdasarkan kajian dari lembaga berkompeten dan sah atau tidak. Bagi dia ini bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
Menurut Arifin selama ini tidak pernah ada pelajaran baik teori maupun praktik tentang lalu lintas dan angkutan jalan dari lembaga yang berkompeten, tetapi langsung proses ujian SIM. Maka pengendara yang akan mendapatkan SIM seringkali tidak lulus.
"Karena tidak adanya dasar hukum yang jelas, kondisi ini sering kali dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu, misalnya calo," tuturnya.