Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
MUSUNG atau Musong adalah kegiatan mencari dan mengumpulkan madu lebah yang dalam bahasa Bangka disebut dengan aik madu.
Lebah-lebah yang hidup di hutan pulau Bangka diambil madunya dengan cara dipusung atau dipusong yaitu dengan cara membuat lebah meninggalkan sarangnya menggunakan asap. Di hutan Pulau Bangka banyak terdapat lebah yang menghasilkan madu berkualitas dengan rasa sesuai dengan bunga pohon yang dihisap oleh lebah.
Jenis-jenis rasa madu tersebut misalnya bisa terasa pahit, karena lebah mengisap bunga atau kembang dari pohon Pelawan, kemudian bisa terasa manis bila lebah mengisap bunga dari pohon Samak, pohon Pulas dan pohon Mesira. Kegiatan musung madu dilakukan secara berkelompok, biasanya dimulai dengan mencari lokasi tempat lebah bersarang.
Berdasarkan lokasi tempatnya bersarang, madu dapat dibedakan atas dua jenis yaitu Madu Sunggau dan Madu Dahan. Bila menemukan sarang madu biasanya diberi tanda dengan menakel pohon tempat madu bersarang dengan tanda tertentu dan diberi Sarat dengan jampi agar madu tersebut tidak diganggu atau diambil oleh orang lain. Menurut De Clercq yang dimaksudkan dengan Madu Sunggau adalah: “Madoe Soenggoeh (ten rechte Soenggau ) is „een stok van ±2 vadem lengte, die tusschen de takken van een boom in uitstekende richting gebonden wordt, om de bijen te lokken daar aan hun nest te maken", Madoe-Sijalang (Sijalang hier zelden gebruikt, meer te Palembang) (De Clercq, 1895:141). Maksud De Clercq dalam bukunya “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”,dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895, Madoe Soenggoeh (tepatnya Soenggau) adalah “sebatang tongkat sepanjang ± 2 depa, yang diikatkan di antara dahan pohon dengan arah menjorok, untuk memikat lebah agar membuat sarangnya di sana”. Madoe-Sijalang (Sijalang disini jarang digunakan), lebih lanjut di Palembang) (De Clercq, 1895:141). Maksudnya De Clercq, bahwa, jenis Madu Sijalang jarang ditemukan di pulau Bangka dan banyak ditemukan di Palembang. Madu Sijalang atau Papah adalah madu yang diperoleh dari hutan rimba di pulau Sumatera dan madunya biasa hinggap di Pohon Sialang (Koompassia excels), yang kalau di pulau Bangka disebut dengan Pohon Menggeris. Di pulau Bangka madu yang hinggap di pohon disebut dengan Madu Dahan
Bila sarang lebah yang ditemukan bagian bawah sarangnya telah membesar atau pada bagian “Perulun” (kantung-kantung air madu) telah penuh dan bagian sarang yang tipis berisi anak-anak lebah (air madu dan anak madu berada dalam kantung terbuat dari lilin), maka sarang lebah tersebut sudah siap untuk dipusung atau dipusong. Sebelum melakukan pemusungan perlu disiapkan peralatan memusung yang disebut “nyenyamu”, yaitu terbuat dari kumpulan ranting kayu kering sepanjang sekitar satu meter, dengan ukuran selebar paha orang dewasa. Ranting kering lalu dibungkus atau dibalut dengan dedaunan hijau dari tunas-tunas kayu sepanjang satu meter, setelah dibalut rata dengan dedaunan tadi, lalu dililit dengan tali Ketakung atau Ketuyut, atau jenis akar kayu lainnya.
Bila nyenyamu sudah siap, maka dibakar pada bagian nyenyamu yang lebih kecil, bila api telah merata memakan ranting kering dalam lilitan yang dibungkus tunas-tunas kayu basah tadi, maka akan keluar asap pekat dari bagian nyenyamu yang lebih besar. Bila madu yang dipusung itu Madu Sunggau, pemusung tidak perlu naik ke atas pohon akan tetapi cukup memulai pengasapan dari bagian pangkal Sunggau dengan asap yang keluar dari bagian nyenyamu yang lebih besar.
Dalam melakukan pengasapan orang yang memegang nyenyamu harus bersikap tenang dan pegangan nyenyamu harus mantap agar lebah menjadi “bantut” karena mabuk asap. Bila dalam melakukan pengasapan ada lebah yang terbang dan hinggap di lengan, muka, serta kuping, maka pemegang nyenyamu harus bersikap tenang sebab lebah yang mabuk karena asap tidak akan menyengat bila posisinya tidak terjepit.
Untuk memusung jenis Madu Dahan, prosesnya sama dengan memusung Madu Sunggau, cuma pemusung harus memanjat pohon untuk mendekati sarang lebah. Pada zaman dahulu Madu Dahan banyak sekali jumlahnya, berkisar sampai 20 helai dalam satu pohon. Madu yang telah diperoleh setelah diperas dan dipisahkan dari lilin dan sarang serta anak lebahnya, lalu disimpan dalam suatu wadah yang disebut “Uyeng” agar tidak berubah rasa maupun warnanya, walaupun disimpan dalam waktu yang relatif lama. Uyeng terbuat dari kulit kayu “pohon Bunut”(Ficus). Pohon Bunut dikenal dalam 3 jenis varietas, yaitu varietas Bunut Putih (ficus glauca), Bunut Mangkok (ficus virens), dan juga varietas Bunut Merah (ficus glabella).
Uyeng dibuat berbentuk persegi Empat, mirip dibuat seperti gentong kayu. Kulit-kulit kayu Bunut tersebut direkatkan dengan menggunakan Lilin Madu pada bagian-bagian sambungan yang berlubang sehingga tidak bocor. Uyeng yang berisi aik madu disimpai (diikat) dengan rautan rotan di sekelilingnya agar tidak begeser, sehingga walau disimpan dalam Satu tahun aik madu tidak akan berubah rasa maupun warnanya. Madu yang diperoleh dari lebah sangat banyak khasiatnya dan sangat cocok untuk kesehatan bila madu tersebut diperoleh dengan cara yang benar.
Dalam kepercayaan dan tradisi masyarakat Bangka, bila madu yang diperoleh dengan cara yang tidak benar (bukan madu temuannya) misalnya mengambil madu yang sudah diberi tanda (ditakel) dan dipasang sarat atau jampi, maka diyakini bahwa madu tersebut akan membawa penyakit dan bala seperti sakit perut, perut besar, buruk perut (perut yang membusuk), batuk-batuk bahkan sampai menyebabkan muntah darah.
Kepercayaan masyarakat juga mengatur, bahwa setiap orang yang akan membeli madu harus bersikap hati-hati, biasanya untuk memberi jaminan, bahwa madu tersebut asli tidak dicampur dengan air, gula ataupun pemahit seperti gambir, kemudian madu yang dijual diperoleh dengan cara yang benar, maka yang menjual harus mencicipi terlebih dulu sedikit madu sebagai bukti atau jaminannya.
Sebagai sebuah kepercayaan, nilai budaya yang berisi aturan budaya (cultural law) di atas sangat diyakini dan dijunjung tinggi serta dipatuhi oleh masyarakat sebagai sarana ketertiban dan wujud perilaku masyarakat yang taat kepada aturan (law in order) tidak seperti sekarang yang masyarakatnya (law less). Sebagai sebuah sistem religi, aturan budaya tersebut merupakan keyakinan manusia tentang hal-hal supranatural, wujud adanya alam gaib, adanya Tuhan, adanya nilai (value), norma-norma dan etika.
Jadi walaupun tidak ada yang melihat dan aturannya tidak tercatat, karena berupa aturan budaya (cultural Law) dan kebiasaan budaya (cultural habits), ketaatan terhadap aturan dan kebiasaan budaya yang dibuat sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Kemudian Sarat atau jampi, ucapan-ucapan tertentu merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan (relation) dengan Tuhan, dewa-dewa, supranatural atau makhluk-makhluk yang mendiami alam gaib, fungsinya adalah selain untuk memperkuat keyakinan, juga memperkuat sistem dan nilai sosial serta aturan yang ada dalam masyarakat.
Dalam Hukum Adat Sindang Mardika yang berlaku di pulau Bangka juga diatur tentang pengelolaan dan pemanfaatan hasil-hasil hutan seperti Madu. Air Madu atau aik madu dan lilin madu merupakan satu komoditas hasil hutan di pulau Bangka yang dikirim sebagai upeti atau menjadi barang dagangan di mancanegara.