PUISI-PUISI DEVI REVALIA

Minggu 16-04-2023,20:36 WIB
Editor : Budi1

Norma yang Hampir Sirna

Lingkaran waktu yang tak gentar melaju
Siang dan malam kian berpacu
Meninggalkan moral dan etika begitu saja

Di mana semua padi yang merunduk?
Kala semakin banyak tong kosong nyaring bunyinya
Terkikis teknologi yang semakin keji

Bukan,
Ini bukan janji yang kau ucapkan kala itu
Katanya ingin menjaga moral bangsa
Namun nyatanya, kau menentang itu semua

Wahai generasi penerus bangsa
Merugikah engkau jika mengucap salam pada yang lebih tua?
Turunkan kepalamu, tak akan menjatuhkan harga dirimu


Lantunan Logat Para Pemuda

Ideologi bangsa sang pencipta
Tersusun elok dalam setiap kata
Mengukir ribuan makna dalam indahnya

Bukan tentang siapa kita
Bukan pula di tanah mana kita berada
Aku, kau, kita semua sama
Generasi bangsa dalam satu bahasa

Orasi para mahasiswa terdengar pekat dan menjerat
Merdunya puluhan logat yang saling bersahutan,
berhasil melepas ikat polemik yang kian dipererat
Mereka hanya sekumpulan pemuda dengan tekat membela
hak masyarakat

Walau kulit kita tak sama
Walau isi kepala pun berbeda
Namun satu tujuan kita
Mencintai bangsa lewat bahasa Indonesia


Terikat

Sepasang langkah kaki terus meniti pada jalurnya sendiri
Riuh gemuruh kumpulan tawa perlahan sepi
Tatap kosong serta fikir hampa
Seolah menahan laju derapnya sang tuan

Sepasang langkah kaki itu kini bertambah sepasang lagi
Piringan hitam yang lama tak berbunyi,
Kini kembali berputar pada porosnya
Dan ruang hitam sepi, kini menampakkan warnanya lagi

Harus dengan apa lagi ku gambarkan bahagia
Jikalau tawa sang kawan lantas menyelamatkan langkah kaki yang
nyaris terhenti
Bukankah ini cukup?
Kita bahkan tak butuh temali untuk terikat


Pusara Asmara

Bibirnya terlalu angkuh
Hatinya tampak sulit runtuh
Termangu membisu membiarkan wataknya acuh
Sedang raganya, memberontak kukuh

Diantara dersik angin yang merajalela
Kecipak air turut meramaikan cakrawala
Membiarkan pikiran yang terus mencela
Jika saja bukan syaraf yang membela

Terlalu sulit lontarkan tawa
Mengingat hati yang terlanjur melebur dengan jiwa
Lantaran terlintas sekelebat peristiwa
Dia, membuat lelakiku tak bernyawa!

Tak ada lagi sepasang mata indah yang berbinar
Lengkungan indah yang tak pernah pudar, lantas terlihat hambar
Kala sang pujaan tak lagi berujar

Senja kini jadi pengobat rindu yang teramat sangat
Bukannya lenyap, rasa itu kian merambat
Menggerogoti perasaan yang tak lagi ingin menguat
Sekalipun harus bergulat dengan hasrat

Tertawa bersama tangisan
Mengumpulkan lagi kristal yang berjatuhan
Kembali membentang harapan setelah kekecewaan
Dan menghapus paksa jejak tangan dalam genggaman

Di bawah redupnya lentera
Coba ku susun kembali serpihan asmara
Meski tak akan jadi bahtera
Setidaknya kau tenang pada pusara


Malaikat Peneduh

Semburat kilat melekat
Meringkuk rapat mendekat
Bak sepadan selongsong yang hangat
Serta seuntai penambat yang terikat

Usai kuucap kaul pada Tuhan
Ku buka jalan perlahan
Dengan seorang malaikat yang berusaha bertahan
Dan berjanji akan menjagaku aman

Seulas senyum ia tampakkan
Dan terus mengucap syukur pada Tuhan
Butiran peluh kehangatan
Terasa telah tergantikan

Bak sebuah payung peneduh
Ialah jurusan yang tepat kala ku butuh
Cinta yang ia beri penuh
Janji akan ku jaga utuh

Tergurat doa dalam tangannya yang menengadah
Punggung yang selalu rela tertancap ribuan panah
Senyum yang selalu meredam amarah
Serta hatinya yang membimbingku melangkah

Bukanlah seorang puitis yang menghipnotis pendengarnya
Bukan pula senja yang punya banyak pengagumnya
Namun canduku kini padanya




Devi Revalia, Lahir di Sungailiat, 27 April 2007. Pelajar SMA Negeri 1 Sungailiat yang bercita-cita ingin menjadi guru. Ia memiliki prisip dengan motto “Diri sendiri adalah aset paling berharga yang menjadi kunci bahagia”.

Tags :
Kategori :

Terkait