BUJANG PeDe si anak tunggal Wak Ijah, hari itu mendadak merengek manja. Maklum, hanya kepada Sang Emak lah satu-satunya tempat Bujang mengadu.
'Mak, sekali-kali belilah daging kambing di pasar. Kan lebih murah dari daging sapi?'' ujar Bujang PeDe dengan nada sedikit manja, meski sudah tua bangka.
''Ada-ada saja Kau ini Bujang. Kau ingin Mak mu ini cepat mati apa? Nyuruh darah tinggi Emak kumat Apa?!'' ujar Emak dengan nada tinggi.
''Siapa bilang darah tinggi Emak bisa kumat kalau makan daging kambing?!'' bantah Bujang PeDe.
''Kayak nggak tahu aja kau ini Bujang?!'' tukas Emak.
''Aduh Emak, itu ilmu orang dulu. Orang sekarang gak percaya lagi yang seperti itu,'' ujar Bujang PeDe sok tahu.
''Apa iyah?!'' ujar Emak mulai terpengaruh. Maklum, Emak meski sudah tua, giginya masih utuh, dan selera makannya masih bagus.
Maklum lagi, soal selera, anak beranak itu tak jauh beda.
''Lha iyalah, Mak. Itu semua tergantung cara Emak memasaknya. Kalau daging kambing itu digoreng, maka harus bareng dengan tempe dan tahu. Kalau dibuat berkuah, maka harus dicampur dengan sayur-mayur,'' ujar Bujang sekenanya, entah pengetahuan darimana.
Singkat cerita, Emak pun membeli selera Bujang, cukup seperempat Kg daging saja. Maklum, Emak selera juga, dan maklum hanya berdua saja.
Untuk mempersingkat proses, Emak hanya ingin membuat sambal daging kambing. Oh ya, sesuai dengan anjuran si anak, Emak juga membeli tahu dan tempe.
Acara makan siang Emak dan Bujang pun digelar.
Saat mau makan dan mengambil daging kambing, Bujang langsung berpesan.
''Emak, jangan makan daging kambing, Mak. Darah tinggi Emak kumat nanti?''
''Apa pula Kau ini Bujang?!'' ujar Emak. ''Itu sudah emak campur dan goreng bareng dengan tahu dan tempe?!''