Dibahas di FGD Tertutup?
ENTAH apa urgensinya, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI bersama Penjabat Gubernur Bangka Belitung (Babel) Ridwan Djamaluddin menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) membahas soal wacana timah kembali menjadi komoditi strategis.
Hadir langsung Gubernur Lemhanas Andi Widjajanto, dalam FGD yang berlangsung di Kantor Gubernur Babel. Turut pula Dirut PT Timah, Forkompimda, Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Patijaya serta Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), dan lagi-lagi tanpa menghadirkan Asosiasi Industri Timah Indonesia (AITI), pada Jumat (17/3) kemarin itu.
Sayangnya FGD selama tiga jam dimulai dari pukul 14.00 WIB hingga WIB 17.00 WIB ini tertutup bagi wartawan. Usai FGD pun, Babel Pos tak berhasil mengkonfirmasi hasil FGD kepada Pj Gubernur Babel, Ridwan Djamaluddin. Dirjen Minerba ini keburu ngacir dengan dalih ingin mendampingi rombongan Lemhanas meninjau salah satu smelter di Pangkalpinang.
Namun babelpos.id berhasil mewawancarai anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Patijaya (BPJ). Hanya saja, pandangan Bambang berbanding terbalik dengan pembahasan kajian jangka panjang tahun 2023 dengan Tema "Mengembalikan Komoditas Timah sebagai Mineral Strategis dalam rangka Mengamankan Penguasaan Aset Mineral".
Dalam FGD tadi, Bambang menilai tak ada yang urgensi yang dibahas tentang kajian untuk memantapkan komoditas timah untuk dikembalikan ke mineral strategis. Malah FGD membahas tentang persoalan operasional serta penegakan hukum.
"Itu saja yang dibahas, selain itu soal perpajakan yang kurang maksimal. Jadi pembahasannya bukan dalam tatanan strategis," tukas pria yang kerab disapa BPJ ini.
Kendati demikian, ia sendiri mengaku sangat menunggu hasil kajian dari Lemhanas tentang mengembalikan timah sebagai mineral strategis dalam rangka mengamankan penguasaan aset mineral.
"Iya, kita menunggu kajian dari Lemhanas," ungkap Ketua DPD Golkar Babel ini.
Lain halnya, menurut BPJ, jika hilirisasi timah yang direncanakan sudah dijalankan. Menjadikan timah sebagai mineral strategis merupakan pendukung utama. "Itu tadi kata saya, apa yang mau kita bahas, kalau barangnya baik-baik saja, enggak ada urgensinya," tukasnya.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Wakil Ketua AETI Herwendro Aditya. Ia juga menilai, timah dijadikan mineral strategis iitu belum ada urgensinya. Sebab harus diakui dampak dari timah ini masih banyak dirasakan oleh masyarakat Babel. Dan berimbas menurunkan angka kemiskinnan. "Itu data-data yang kita dapat," sebutnya.
"Sebenarnya timah ini mau diproduksi berapa smelter sih? Paling banyak juga produksinya 60-70 ribu ton. Ya itu cuma segitu-segitu saja. Dan hitungan kami ini akan berakhir 35 tahun ke depan," paparnya lagi.
Namun semua kembali kepada kebijakan pemerintah. "Kami dari asosiasi mengkuti saja. Tadi yang dibahas juga tidak begitu strategis. Namun kita ada solusi ke depan. Seperti kita harus unya stokpile nasional. Kita ini produsen timah nomor dua di dunia, harusnya kita bisa kendalikan (harga timah). Tapi ini kembali lagi pemerintah. Kita hajya memberikan masukan," imbuhnya.