Demang di Pulau Bangka (Bagian Dua)

Selasa 21-02-2023,06:23 WIB
Editor : Babelpos

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan , Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

SALAH seorang demang kerabat sultan Palembang yang dengan gigih berperang pada saat awal kekuasaan Hindia Belanda di pulau Bangka adalah Demang Singayudha. 

Berkuasanya kembali Belanda atas pulau Bangka dari tangan Inggris (Tahun 1816), memicu berbagai perlawanan rakyat Bangka, terutama sejak dikeluarnya Tin Reglement Tahun 1819 yang berisi: Penambangan Timah di Bangka langsung berada di bawah wewenang dan kekuasaan residen; Timah adalah monopoli penuh Belanda dan tambang Timah partikelir dilarang sama sekali beroperasi. Tin Reglement merupakan kebikakan untuk memperbaiki kondisi keuangan Kerajaan Belanda yang porak poranda akibat perang di Eropa.

Perlawanan rakyat Bangka terjadi di wilayah Koba, Toboali, Keppo dan Djebus digambarkan oleh P.H. van der Kemp: “Inspecteur-Generaal Smissaert had in den ous bekendeu brief van 12 Maart 1817, een ongunstig tafereel opgehangen over sommige toestanden in Banka's binnenlanden,üe volkshoofden, de batin schreef hij,lachten om alle orders en het hoofd van Koba, op de oostzijde des eilauds, werd als een nietswaardig voorwerp beschouwd, dat het gouvernement met open oogen bedroog. De staat van zaken verergerde allengs; zelfs werd den 15 Mei 1819 het aan de zuidzijde gelegen mijndistrict Toboali aangevallenen afgelo open. De inueming van onze benting aldaar was toeteschrijven aan de wankelmoedige houding van den commandant, 2" luitenant Bury, die aan liet hoofd van 40 man den hem toevertrouwden post eenvoudig prijs gaf en op Pangkal-Pinang terugtrok, zouder éen man te hebben gewaagd . Weinige dagen daarna werd het dicht bij Toboali gelegen Kappo aangetast, doch de aanval door het hoofd aldaar, den kapitein der Chiueezen, afgeslagen Eenderde aanval had in Juni plaats in het district Djeboos ook die werd afgeslagen, doch de vijaud maakte zich meester van een onzer kanonneerbooten” (Kemp, 1900;544-545), maksudnya "Inspektur Jenderal (residen) Smissaert dalam suratnya yang tertanggal pada 12 Maret 1817, sebuah situasi yang tidak menyenangkan terjadi di beberapa bagian wilayah pedalaman Banka, para kepala rakyat yang disebut dengan batin, menolak semua perintah Inspektur atau kepala distrik Koba, yang terletak di sisi Timur pulau Bangka. Mereka menentang secara terbuka pemerintah.

Keadaanpun semakin memburuk; bahkan pada tanggal 15 Mei 1819, distrik pertambangan Toboali, yang terletak di sisi Selatan, diserang. Pemberontakan terjadi di sana disebabkan oleh sikap sang komandan yang gigih di wilayahnya, Letnan Dua Bury, dengan  40 orang pasukannya, berusaha mempertahankan wilayah dan jabatan yang dipercayakan kepadanya, dan kemudian mundur ke Pangkal-Pinang, salah satu wilayah yang telah Ia jelajahi. Beberapa hari kemudian, Kappo (maksudnya Kepoh), yang dekat dengan Toboali, diserang, tetapi serangan dapat dipertahankan oleh kepala pasukan di sana, kapten Chiuese. Serangan Ketiga kalinya juga terjadi pada bulan Juni terhadap wilayah di distrik Djeboos, tetapi musuh ditangkap oleh salah satu pasukan bersenjata kami" (Kemp, 1900;544-545).

Tokoh-tokoh pemimpin perlawanan rakyat Bangka yang memimpin perlawanan di samping Depati Bahrin adalah Demang Singayudha, dan Juragan Selan di Kotaberingin serta Batin Tikal di Gudang.  Puncaknya pada tanggal 14 November 1819, atas perintah Depati Bahrin, residen Belanda Smissaert dibunuh dalam satu penyergapan dipimpin oleh Demang Singayudha dan Juragan Selan di dekat sungai Buku, perbatasan antara Desa Zed dan Desa Puding. “Maka di dalam waktu ini tempoh jadi residen Bangka tuan Smitsar kembali dari Pangkal Pinang jalan darat lewat di tanah Jeruk dimana dekat kampung Puding. Di situ suruhan dipati Barin dengan demang Singayudha bunuh itu tuan residen Bangka nama tuan Smitsar dan kepalanya batin Tikal dari Bangka Kota bawa kasihkan kepada sultan Palembang” (Wieringa, 1990:122). Batin Tikal menyampaikan kepada sultan agar membantu mereka berperang melawan Belanda, akan tetapi sultan Palembang tidak dapat membantu karena pada saat bersamaan juga sedang berperang. Akan tetapi sultan berjanji membantu dengan menaikkan harga beli Timah yang dijual ke sultan.

Untuk menumpas perlawanan rakyat di Koeboebangka atau Kotabangka atau Bangkakota, pasukan militer Belanda harus melakukan beberapa kali penyerbuan. Pasukan militer Belanda di Bangka adalah pasukan militer yang telah terlatih dalam perang di Palembang (Elvian, 2016:23). Serangan atau penyerbuan pertama dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1819 Masehi, dilakukan melalui darat dan melalui laut dipimpin oleh Kapten Ege, kemudian pada bulan September Tahun 1819 terjadi serangan kedua dan terjadi pertempuran besar-besaran di Koeboebangka atau Bangkakota.

Pada waktu itu Bangkakota diserang oleh pasukan Belanda dari darat dipimpin oleh Kapten Laemlin yang membawa pasukannya sekitar 230 prajurit dari distrik Pangkalpinang dan memulai serangan pada tanggal 14 September 1819, sedangkan serangan dari laut dilakukan oleh pasukan Belanda dengan empat buah kapal perang di bawah pimpinan Kapten Baker.

Pada serangan pertama dan kedua pasukan Belanda terhadap Koeboebangka atau Bangkakota, pasukan Belanda mengalami kekalahan yang sangat memalukan dan harus kembali ke Kota Muntok dan Kota Pangkalpinang. Berdasarkan catatan Belanda dikatakan, bahwa dari pihak Belanda tewas sebanyak 4 orang, 19 terluka, seorang perwira dan 45 prajurit mengalami kelaparan, 2 perwira dan 63 prajurit mengalami sakit, total 50 persen pasukan tidak mampu bertempur (Santosa, 2011:134). Satu hal yang tidak masuk akal dan mencengangkan, bahwa dalam laporan tersebut penyebab kekalahan 230 prajurit terlatih dari Eropa tersebut dikarenakan kelelahan dan terkena serangan penyakit (demam Bangka) serta kelaparan. Sungguh merupakan suatu cerita yang tidak masuk akal.

Karena minimnya persenjataan, dalam pertempuran selanjutnya Koeboebangka (Kotabangka) atau Bangkakota pada bulan Oktober Tahun 1819 Masehi dapat dikuasai oleh pasukan Belanda. Koeboebangka (Kotabangka) kemudian dibumihanguskan oleh pejuang rakyat yang kemudian menyingkir ke arah Utara melewati sungai Selan dan sungai Menduk menuju Kotaberingin (Kotawaringin), serta sebagian pasukan menyingkir ke Selatan menuju Nyireh (sungai Nyireh) dan hampir mendekati desa Pergam sekarang.

Selanjutnya untuk menumpas perlawanan rakyat Bangka yang lari dari Koeboebangka atau Bangkakota ke Kotaberingin (Kotawaringin), pada bulan Maret Tahun 1820 Masehi, Letnan Reisz melancarkan serangan dengan membawa pasukan dari distrik Pangkalpinang. Sedangkan serangan dari laut dipimpin oleh Letkol Keer dan Raja Akil (Mayor Akil) dari Siak.

Setelah pertempuran yang sengit, Kotaberingin berhasil diduduki pasukan Belanda dan Demang Singayudha serta Juragan Selan pemimpin perlawanan rakyat, gugur di medan pertempuran. Tampaknya peristiwa, pembunuhan terhadap residen Belanda Smissaert pada tanggal 14 November 1819 di dekat sungai Buku, perbatasan antara Desa Zed dan Desa Puding, menyebabkan dua tokoh yaitu Demang Singayudha dan Juragan Selan menjadi target utama pasukan militer Belanda, sementara Bahrin yang memerintahkan melakukan pembunuhan dan Batin Tikal yang membawa kepala residen Bangka dari Bangkakota kepada sultan Palembang berhasil menyelamatkan diri ke wilayah Djeroek. 

Perlawanan rakyat Bangka terus dilakukan oleh Depati Bahrin (Tahun 1820-1828), Batin Tikal dan bersama panglima Tjekong Moenjoel dan dua putera Demang Singayudha yaitu Djamal dan Djaja. Depati Bahrin beserta Batin Tikal dan pejuang-pejuang lainnya melakukan perang gerilya yang terus berpindah-pindah dari Koeboebangka atau Bangkakota ke Kotaberingin dan Nyireh terus ke daerah Jeruk (sungai Jeruk).

Kategori :