Urang Zaman Kinek

Jumat 27-01-2023,07:00 WIB
Editor : Babelpos

Oleh : Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

SERING bertemu tapi tak pernah bertamu. Merasa dekat, padahal jauh yang teramat sangat. Merasa bersaudara, tapi tidak saling tahu keluarga. Aktif di dunia maya, tapi pasif di dunia nyata. “Seperadik” tapi saling “bebejik”…….

Tulisan ini adalah perbandingan (kelanjutan) dari tulisan saya pada Jum’at lalu yang berjudul “Urang Zaman Duluk” yang merupakan bagian dari presentasi makalah yang saya buat tentang sosial kemasyarakatan dalam kegiatan Seminar Sehari Pra Musywil Muhammadiyah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung. Makalah tersebut saya beri judul: “Latto-Latto” Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia (Peran Muhammadiyah dalam Pencerahan & Pencegahan “Kesialan” Sosial). 

Kita akui, perkembangan teknologi dan modernisasi yang kian berkembang membuat kebiasaan dan budaya baru ditengah kehidupan sosial masyarakat. Kesibukan masyarakat modern dalam mencari kehidupan, baik itu kekayaan, kejayaan (gengsi), popularitas, ketokohan, kemapanan dan sebagainya membuat kehidupan sosial menjadi begitu rapuh. Kesibukan yang luar biasa inilah ternyata membuat kehidupan sosial kemasyarakatan kita menjadi mudah di “latto-latto”-kan oleh berbagai kepentingan. Riak-riak perpecahan begitu nampak dan emberio saling mencurigai sudah sangat jelas. Padahal, kita semua menyadari bahwa pondasi kemajuan sebuah negara, lingkungan, organisasi, perserikatan, himpunan dan sebagainya adalah kebersamaan dan kepercayaan.

Beberapa perilaku sosial masyarakat modern yang berkebalikan dari 6 point dari perilaku sosial masyarakat tempo doeloe menjadi cermin bagi kita semua dalam berbangsa, bernegara, berserikat bahkan berkeluarga, di antaranya:

Perbedaan adalah Perpecahan

Keramahan dan kesantunan masyarakat tempo doeloe begitu cepat tergerus oleh kehidupan modern sekarang ini. Kenal dan akrab begitu mudah di “latto-latto”-kan oleh sebab perbedaan pandangan. Ternyata perbedaan dalam kehidupan sosial masyarakat dijadikan pondasi perpecahan. Tidak ada kebersamaan kalau tidak ada kesamaan, tidak ada senyuman kalau tidak saling mengenal, tidak ada perkumpulan kalau ada perbedaan, dan tidak ada sapaan kalau tidak saling mengenal. Bahkan kebersamaan yang tercipta sangatlah rapuh karena dibalut oleh kepentingan-kepentingan yang sebenarnya sangatlah tidak mendasar. Bahkan karena perbedaan, ngumpul-ngumpul untuk makan-makan saja ada pejabat gila yang kelabakan.

Perilaku sosial masyarakat modern seperti inilah yang akhirnya begitu mudah di-“latto-latto”-kan alias dibentur-benturkan oleh sekedar isu, berita hoax, tuduhan, fitnahan, cacian dan akhirnya terjadi perpecahan antar sesama anak negeri, baik dalam bernegara, lingkungan, organisasi, himpunan dan perserikatan.

2. Semua di Nilai dengan Materi (Uang)

Tergerusnya perilaku sosial bergotong royong adalah wajah masyarakat kita hari ini. Segala pekerjaan bahkan kebersamaan hampir semuanya dinilai dengan materi. Makanya populer istilah “uang rokok”, “uang bensin” “uang jalan” “uang lelah” “uang mikir” “uang rapat” “uang duduk” “uang komisi” dan istilah-istilah lainnya. Perilaku sosial seperti ini terjadi sebab masyarakat modern berpandangan bahwa kesuksesan seseorang dinilai dari seberapa banyak materi yang ia kumpulkan. Akhirnya dalam obrolan pun selalu asyik ketika berbicara materi, merek kendaraan, besarnya usaha yang dilakukan, proyek mewah yang harus “wah” dipandang mata, dan sebagainya. Sudah sangat jarang masyarakat modern berbicara nilai, kebermanfaatan dan keteladanan. Akhirnya begitu banyak bermunculan “orang besar” yang tidak bernilai, orang kaya yang tidak bermanfaat, cendikiawan yang tidak mampu menjadi teladan dan akhirnya kampus hanyalah “pabrik manusia” yang mencari ijazah agar disebut sarjana dan bangga menggunakan titel saat menulis namanya. 

3. Berebut “Beng Kadep”

Masyarakat modern adalah masyarakat yang mengejar gengsi dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya, berusaha tampil dalam berbagai lini menjadi bagian dari yang dicari. Sehingga benturan dan gesekan dalam kehidupan sosial masyarakat modern persis seperti permainan bernama “latto-latto”. Kecanggihan teknologi, gesekan dan benturan itu semakin bersuara nyaring. 

Rebutan dalam berbagai posisi demi gengsi alias “berebut beng kadep” (rebutan ingin terdepan) adalah fenomena sosial masyarakat kita yang terjadi hari ini. Tidak hanya dalam politik, tapi juga dalam kehidupan dilingkungan, organisasi, himpunan, komunitas, perserikatan dan bahkan dalam pergaulan sehari-hari. Dalam pepatah Jawa, dinasehatkan: “Ojo rumungso iso, tapi kudu iso rumungso” (Jangan hanya merasa bisa, tapi harus bisa merasa). Tidak hanya kalimat yang indah, tapi maknanya begitu mendalam, yakni tahu kualitas diri agar tahu diri. Kualitas diri kita, bukanlah diri sendiri yang menilai, tapi pastinya orang lain. 

4. Silaturrahmi Semu (Teknologi)

Persahabatan semu begitulah saya menyebut kalimat “persahabatan” manusia modern. “Laen cara bekawan urang kinek ne” (Beda cara berteman orang-orang zaman sekarang), begitulah ungkapan masyarakat Pulau Bangka di kampung-kampung. Persahabatan atau pertemanan semu menjadi “budaya” bagi masyarakat modern. Semakin canggihnya teknologi, maka semakin semu segala ucap dan kata yang ditulis di media-media sosial. Makanya tidaklah heran terjadi “latto-latto” (benturan) begitu mudah terjadi dalam kehidupan masyarakat kita.

Kategori :

Terkait

Kamis 12-10-2023,20:57 WIB

Istana & Senayan

Jumat 14-07-2023,01:00 WIB

Keruas

Jumat 23-06-2023,01:00 WIB

Anak Gadis dan Anak Ayam