Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
SAYA berharap, Pemilu 2024 nanti, yang bermunculan tidak hanya kelompok, komunitas & timses para Capres/Cawapres, tapi bermunculan kelompok, komunitas atau Timses “Persatuan Indonesia” atau “Indonesia Damai. Di dalamnya ada Ulama Independen, Budayawan, Guru, TNI, Polri, Akademisi & Mak-Mak Ceria plus Asyik.
TAHUN politik 2024 masih cukup lama, namun nuansa politik dan gesekan sudah lumayan terasa. Riuh dukungan pada Capres dan Cawapres bukan sekedar lobi tingkat atas, tapi pembentukan relawan ini itu sudah begitu kental dan mulai panas. Tak mau kalah, walau masih lama, para Caleg pun sudah kelihatan pasang muka dan mulai bermanis ria di Dapil dimana ia nanti akan bertanding dalam pesta demokrasi 2024. Saya sempat bertemu beberapa calon Caleg muda, nampak sekali gaya dan aktivitas mereka sudah mulai “merakyat” dan dalam berbagai kegiatan di (rencana) Dapil, ia selalu ingin tampil. Padahal selama ini sangat cuek, tapi sekarang sudah mulai “berdandan” gaya public figur.
Begitulah politik, selalu menjadi bahan asyik karena unik. Sebab politik adalah strategi alias tak tik. Sehingga disebutkan dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, tapi yang ada adalah kepentingan. Walaupun tahun demokrasi masih sangat jauh, tapi sudah ada yang terang-terangan menonjolkan fhoto diri berjas di medsos, ada yang sudah mulai membuat Timses dan ada pula yang mulai “kiyun-kene” tebar muka dengan harapan yang melihat terpesona.
Calon Presiden pun belum ditetapkan, tapi timses dari beberapa figur yang dianggap akan diusung sudah membentuk Timses dengan berbagai nama. Semua berjudul “untuk rakyat” dan janji-janji manis sudah mulai dipoles. Tak hanya Timses, tapi bakal Capres sudah keliling daerah untuk tebar muka dan sekedar melambaikan tangan kepada rakyat. Di media sosial, terutama group-group WA, saya pribadi sampai “langok” bahkan mengarah kepada “gelik yok” oleh kampanye-kampanye dari mereka-mereka yang menjadikan diri sebagai Timses. Gara-gara “kampanye” Timses di group-group WA inilah yang akhirnya banyak yang keluar group. Pastinya setelah “pertengkaran” terjadi. Ternyata politik kekuasaan itu bisa menyatukan sekaligus juga memisahkan. Disinilah embrio perpecahan antar anak negeri bakalan terjadi.
Kita Semua Indonesia
BEBERAPA tahun terakhir ini, pesta demokrasi, terutama pemilihan Capres dan Cawapres seperti sungguh mengkhawatirkan bahkan bagi sebagian masyarakat menakutkan. Sebab munculnya kubu A dan kubu B kadangka sudah seperti berperang melawan penjajah saja. Apalagi para pendukung berkelas “membabi buta” dan semua yang berbeda dengan pilihannya adalah musuh negara. Mengecam, memfitnah, membredel, menghambat karier bahkan mencaci dan membantai kadangkala membuat pesta demokrasi menjadi menjijikkan. Padahal sesungguhnya pesta demokrasi itu mengasyikkan, seperti sebuah kompetisi sepekabola atau Piala Dunia seperti sekarang ini sedang berlangsung. Mengapa harus bertempur?
Padahal pesta demokrasi hanyalah sesaat, keutuhan diri kita sebagai sesama anak bangsa adalah seumur hidup. Mengapa sesuatu yang sangat sesaat itu harus mengorbankan kepentingan keutuhan negara? mengapa sila Persatuan Indonesia semakin tak terlihat? Apakah kita semua memang suka berpecah belah? Saling gasak gesek dan gosok bukannya saling asah asih dan asuh walau dalam perbedaan pilihan? Mengapa ini kian meruncing?
Saat pesta demokrasi, selalu yang bermunculan adalah “tukang kompor”. Sangat sedikit yang menjadikan dirinya sebagai “tukang lem”. Saya pribadi berharap, Pemilu 2024 nanti, yang bermunculan tidak hanya kelompok, komunitas dan timses para Capres/Cawapres, tapi bermunculan kelompok, komunitas atau Timses “Persatuan Indonesia” atau “Indonesia Damai”. Mereka diisi oleh para ulama independen, budayawan, guru, TNI, Polri, anak-anak muda yang tidak mau berpihak pada politik kekuasaan, Akademisi dan juga Mak-Mak Asyik. Saya yakin, jika ini dibentuk, Pesta demokrasi di Indonesia menjadi asyik dan ceria. Saya bermimpi untuk hal seperti ini, sebab kita semua adalah anak negeri.
Lantas apakah mereka yang berpartai, caleg, capres/cawapres dan para timses itu tidak asyik? Nggak juga kok. Mereka pastinya akan belajar bijaksana, bahwa dalam demokrasi pilihan berbeda itu bukanlah musuh. Semua berhak berkompetisi, kalah dan menang adalah hal yang biasa. Yang menang tidak tepuk dada dan yang kalah tidak menyalahkan dan mencari celah untuk terus mengumbar fitnah dan meruncingkan masalah. Indonesia ini sangat asyik, perbedaan suku, agama, budaya dan bahasa, itu adalah kekayaan yang sangat luar biasa.
Kalaupun terjadi gesekan, maka tidak perlu terjadi perpecahan. Orangtua kita dulu pernah mengistilahkan dengan bertutur: “Selama sendok, garpu, cangkir, piring, panci, wajan dan sebagainya masih dalam 1 Rak, maka dipastikan bergesekan dan berbunyi “klontang-klonteng”, begitupula kehidupan kita dalam sebuah keluarga dan bermasyarakat juga bernegara”.
Jika kita mencermati tutur lisan para orangtua kita tempo doeloe, betapa bijaksananya mereka menghadapai perbedaan bahkan gesekan. Gesekan bukan berarti perpecahan. Sebab gesekan bagi orang yang bijaksana adalah hal yang lumrah, apalagi sekedar suara-suara sumbang adalah alunan musik cadas yang menggairahkan.
Yuk, 2024 nanti, gesekan yang menimbulkan suara “klontang-klonteng” kita jadikan musik cadas yang menggairahkan sehingga bagian dari semangat untuk kita semakin bersatu dalam memajukan dan menyatukan sesama anak Indonesia. Capek, kalau harus bertengkar dan menebar fitnah serta berbuzzer ria dalam media dan kata.
Salam Klontang-Klonteng!(*)