Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
“KAKAK tuo, nyakit ati...” sepertinya itulah yang dirasakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan saat merayakan HUT ke-22 karena penetapan Komisaris Bank Sumsel Babel yang akhirnya jadi polemik.
22 tahun Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, usia yang masih sangat muda namun penuh fenomena dan romantika dari yang ceria sampai lara. Negeri Serumpun Sebalai yang dianugerahi Allah SWT dengan berbagai macam kekayaan alam yang sangat luar biasa ini patut kita syukuri.
Namun bentuk syukur itu tidaklah cukup, bahkan sangat tercela kalau kekayaan itu justru tidak membuat kesejahteraan rakyat bahkan dikuasai oleh politik kepentingan. Salah satu politik kepentingan yang “jangan” banget adalah ketika saat berkuasa berbuat semena-mena dan mengeluarkan kebijakan yang menjadi polemik.
Suasana kegembiraan peringatan ke-22 HUT Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terselip kekecewaan yang melahirkan polemik. Kekecewaan tersebut berasal dari kebijakan yang menjadi keputusan sehingga melahirkan akibat yang bernama “mantak tengah” akibat keputusan yang “mantak malai”. Keputusan apa itu? yakni diputuskan dan dilantiknya Komisaris Bank Pembangunan Sumsel Babel tepat 3 hari sebelum perayaan HUT Provinsi tercinta ini. Setelah cukup lama terjadi kekosongan posisi Komisaris yang diperuntukkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ternyata Komisaris yang dilantik adalah ASN dari salah satu Kabupaten yang ada di Babel.
Konon, ternyata sejak awal masa jabatan Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ir. Ridwan Djamaluddin, telah berulangkali menyampaikan pengajuan seorang Komisaris kepada pihak Bank Sumsel Babel. Nyatanya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus gigit jari (entah jari tangan atau jari kaki), yang pasti kecewa dan “gerigit ati”. Terlebih, dimasa akhir jabatan Gubernur Kepulauan sebelumnya, ternyata telah mengusulkan nama Komisaris dan calon tersebut adalah Komisaris yang baru dilantik. Terus mengapa terjadi kekecewaan dan “gerigit ati?”.
Ada beberapa pertanyaan yang muncul dari fenomena “gerit ati” yang terjadi pada pelantikan Komisaris Bank Sumsel tersebut. Yakni, seorang Gubernur harusnya mengusulkan/mendukung pejabat dari Pemerintah Provinsi.
Terus yang menjadi pertanyaan lagi adalah mengapa dari pejabat Pemerintah Kabupaten? Apakah tidak ada pejabat di Pemerintah Provinsi yang layak? Mengapa surat dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak dihiraukan alias “Dak Diretak” oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan?
Surat dari Pj. Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung hanya dibalas oleh Sekda Sumatera Selatan? Umumnya yang menjabat posisi seperti ini adalah Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi, akhirnya fenomena ini membuka “luka lama” bahwa ketidakharmonisan Gubernur dan Sekda melahirkan keputusan ini. Artinya, karena politik, seringkali kebijakan “nyeleneh'' mengorbankan daerah.
Kepentingan pribadi mengorbankan kepentingan orang banyak. Walau jabatan Kepala Daerah itu adalah politis, namuan tidak semua kebijakan dan keputusan itu dipolitisir dan menghalalkan segala cara yang akhirnya membuat negeri Serumpun Sebalai ini tidak berwibawa.
Seperti yang sama kita ketahui, konon Gubernur lama pernah 2 kali mengirim surat ke Menteri Dalam Negeri meminta memberhentikan 'beliau' itu. Namun hasrat tersebut tumbang alias tidak berhasil. Sampai detik ini ternyata 'beliau' masih tetap “aman dan melenggang” di Pemerintahhan Babel.
Mungkin, karena tak tersalurkan hasrat tersebut, detik-detik terakhir menjadi Gubernur, naiklah nama ASN dari Kabupaten sebagai Komisaris Bank Sumsel. Padahal, jabatan komisaris fungsional tersebut untuk Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sebab adanya setoran penyertaan modal dari Pemprov Babel pada APBD 2021 sebesar Rp. 10 Milyar.
Dan, sebelum dilantiknya Komisaris Bank Sumsel Babel, Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung setidaknya sudah beberapa kali mengirimkan usulan nama untuk mengisi kekosongan Komisaris Bank Sumsel Babel yang menjadi hak Pemerintah Provinsi Kep. Bangka Belitung. Namun, ternyata surat tersebut “sangat tidak diindahkan” alias “dak diretak” oleh Gubernur Sumatera Selatan. Konon yang membalas suratnya adalah Sekda Provinsi Sumsel.
Dimana harga diri Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang sudah “merdeka” dari Sumatera Selatan ini? Apakah kita ini hanya sekedar “Riuh Madu Riuh Kumbang” sebagaimana istilah para orangtua tempo doeloe?
Tidak diindahkan alias “dak diretak-nya” surat Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi pertanyaan besar buat kita, apakah karena Bangka Belitung hanya dipimpin seorang Pj. Gubernur yang bersifat sementara? Ataukah memang ada hal lain yang berkaitan dengan kepentingan politik 2024? Ataukah memang Pemerintah Sumatera Selatan sebagai “kakak Tuo” bisa mengatur “adiknya” dalam menjalankan roda pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui “keuangan” Bank Sumsel Babel?