Ketujuh, keberagaman dalam musyawarah dimaknai sebagai totalitas yang didasarkan pada entitas keberagaman sedangkan dalam demokrasi keberagaman dipandang sebagai persamaan hak atas realitas individu yang beragam.
Kedelapan, perbedaan pendapat diselesaikan oleh ketua atas dasar hikmah kebijaksanaan yang merupakan hasil olah pikir, olah hati, olah rasa, dan keyakinan pada petunjuk Tuhan yang diwujudkan melalui ilmu, amal, keikhlasan dan kerendahan hati sedangkan dalam demokrasi perbedaan pendapat diselesaikan oleh suara atas dasar ilmu pengetahuan (teori),
Kesembilan, peserta musyawarah adalah seorang ilmuwan dan negarawan yang bijaksana dan mempunyai keyakinan terhadap Tuhan YME sedangkan dalam demokrasi peserta adalah semua orang dengan dasar persamaan hak.
Kesepuluh, paradigma yang digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam musyawarah bersifat holistik dan filosofis sedangkan dalam demokrasi bersifat pragmatis.
Berangkat dari identifikasi tersebut, apakah kita akan tetap menjalankan ritual demokrasi prosedural yang mengesampingkan nilai-nilai kebajikan Pancasila ataukah berbenah diri untuk mulai mempraktekkan demokrasi Pancasila yang sarat nilai etika? Intinya, demokrasi jangan jadi nasi, tapi cukup jadi Sambel Belacin dan kita nikmati seperlunya.
Salam Demokrasi!
Salam Sambel Belacin! (*)