DEMOKRASI saat ini dianggap sebagai sistem terbaik yang mampu mengantarkan Indonesia menjadi sebuah negara sejahtera. Demokrasi sebagai sebuah cara pencapaian cita-cita bangsa, hendaknya tidak terlepas dari ideologi dan jati diri bangsanya. Bung Karno pernah mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia tidak hanya dimaknai sebagai alat teknis, tetapi juga merupakan cerminan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia.
Akan tetapi, terdapat suatu kecenderungan yang nampak saat ini bahwa dalam praktiknya, “demokrasi” ditempatkan sebagai tujuan kehidupan bernegara bahkan terkesan dianggap sebagai ideologi bangsa, padahal sesungguhnya yang menjadi tujuan dalam bernegara adalah membangun dan menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, yang adil berdasarkan Pancasila. Karena itu, secara tegas kita meyakini bahwa ideologi kita adalah “Pancasila” dan bukan “Demokrasi”.
Sayangnya, ternyata banyak pihak yang menganggap bahwa segala keputusan harus diambil berdasarkan suara terbanyak, karena tidak dapat terelakkan lagi dalam kenyataannya votting dianggap sebagai alat ampuh untuk mencapai suatu kesepahaman, misal; dalam pemilihan ketua kelas di sekolah, pemilihan pimpinan organisasi, bahkan pemilihan pimpinan lembaga pendidikan (baca: universitas) dan lain sebagainya selalu mempraktekkan pemungutan suara dengan dalih “kita harus belajar dan mampu berdemokrasi”. Kondisi demikian diperparah dengan adanya asumsi bahwa “tidaklah demokratis” ketika pemilihan/pengambilan keputusan tidak dilaksanakan melalui pemungutan suara.
Dilain pihak, kita juga diajarkan konsep musyawarah mufakat yang tertuang dalam Pancasila (sila ke-IV) sebagai kerangka acuan berdemokrasi. Realitas demikian itu menunjukkan adanya ketimpangan antara konsep (yang diajarkan) dan praksis (yang dilaksanakan) yang pada akhirnya menciptakan kekaburan pemahaman akan makna demokrasi di Indonesia.
Alasan yang sering dilontarkan adalah demokrasi dengan jalan musyawarah hanya dapat dilaksanakan di sebuah negara dengan jumlah penduduk yang minim, karena itu, sulit untuk mempraktekkan musyawarah di negara dengan kuantitas penduduk yang banyak dan beragam seperti Indonesia. Padahal, jika kita telisik kembali sejarah berdirinya Indonesia, para pendiri bangsa merumuskan dasar negara (Pancasila) tidak melibatkan seluruh warga negara akan tetapi dilakukan oleh segelintir orang yang dianggap mumpuni melalui musyawarah. Hal itupun secara tegas pernah dipaparkan Bung Karno bahwa syarat mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan/perwakilan, jikapun mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup.
Harus kita akui, hingga saat ini pelaksanaan demokrasi di Indonesia seakan belum menemukan bentuknya, dalam arti masih dalam proses pencarian jatidiri. Pemikiran mengenai demokrasi Pancasila yang sering digembor-gemborkan nampaknya hanya berhenti pada tataran konseptual. Realitas menunjukkan bahwa kita (Indonesia) seringkali terjebak pada demokrasi prosedural yang cenderung menjauhi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dan jatidiri bangsa daripada demokrasi substansial.
Praktis demokrasi di Indonesia hanya terbatas pada ruang diskusi yang berujung pada pemungutan suara (votting), prosedur pemerolehan keadilan, serta segala instrumen lain yang cenderung formalistis, hanya memenuhi prosedur administratif dan mengesampingkan esensi.
Akibatnya terjadi persoalan-persoalan yang dapat mengganggu stabilitas nasional, misalnya saling hujat antar lembaga negara, saling tikam antar politisi, dan penegakkan kebenaran semu atas nama kebebasan. Maka dari itu, mari kita renungkan kembali, apakah benar demokrasi kita adalah demokrasi Pancasila? Ataukah demokrasi bar-bar yang berdiri diatas faham kebebasan?.
Melihat potret demikian, dapat dikatakan bahwa demokrasi kita sudah mulai tercerabut dari akar budaya bangsanya. Seyogyanya, demokrasi harus mampu hidup dan berkembang dalam kerangka Pancasila yang sarat nilai religiusitas, kemanusiaan, persatuan, hikmat kebijaksanaan demi tercapainya keadilan sosial yang menampilkan kesantunan, toleransi, menghargai perbedaan, dan kemampuan untuk hidup berdampingan dalam keberagaman (gotong-royong).
Disadari atau tidak, liberalisme yang sarat nuansa individualistik dan sekularisme yang menempatkan rasionalitas diatas segalanya tengah menyerang sendi-sendi kehidupan demokrasi kita. Karena itu, perlu dibedakan antara demokrasi Indonesia yang sarat nilai Pancasila (musyawarah) dengan demokrasi barat yang lebih mengedepankan rasionalitas untuk dapat mengembalikan apa yang disebut Bung Karno sebagai demokrasi “ala indonesia”.
Pertama, musyawarah didasarkan pada hati nurani manusia sedangkan demokrasi didasarkan pada suara mayoritas.
Kedua, musyawarah mensyaratkan adanya kesetaraan proses berpikir, pemahaman, dan analisis dalam pemecahan masalah sedangkan demokrasi mensyaratkan adanya kesetaraan dalam hak menentukan pilihan, artinya kemampuan proses berpikir dan bernalar tidak menjadi aspek utama yang harus pertimbangkan, karena tua/muda, pria/wanita, terdidik/tidak terdidik dan lain sebagainya mempunyai hak yang sama untuk menentukan pilihan kedepan.
Ketiga, komunikasi dalam musyawarah selalu diawali dengan kejujuran atas dasar kelapangdadaan dan kerendahan hati yang kemudian diakhiri oleh mufakat yang berintikan kelegaan hati sedangkan komunikasi dalam demokrasi cenderung diawali prasangka dan diakhiri oleh perjanjian atas kesepahaman.
Keempat, musyawarah mematangkan rasionalitas dengan keyakinan dan hati nurani sedangkan demokrasi mematangkan rasionalitas dengan ilmu pengetahuan (teoritical based).
Kelima, keputusan yang diambil dalam musyawarah bersifat sukarela atas dasar moral spiritual sedangkan keputusan dalam demokrasi bersifat mengikat atas dasar kebutuhan individu atau kelompok.
Keenam, kolektivitas dalam musyawarah dibangun atas dasar keyakinan pada Tuhan dan kepercayaan utuh pada sesama manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan sedangkan dalam demokrasi kolektivitas dibangun berdasarkan kesadaran sebagai mahluk sosial.