Ulang Tahun sebuah Kota, Kabupaten atau Provinsi lebih dimeriahkan dengan “dangdut” dan goyangnya ketimbang “makna” adanya Provinsi atau menampilkan produk-produk lokal, baik kesenian, budaya, sumber daya alam dan sumber daya manusia yang memiliki kredibilitas untuk membangun negeri.
Kita lebih suka dengan popularitas bukan pada kredibilitas dan integritas. So, jangan heran yang diundang itu adalah artis, bukan seniman, yang diundang itu yang terkenal bukan yang punya mental, yang punya kursi bukan yang berprestasi.
Akibat dari berbagai hal yang dilakukan masuk dalam tingkatan “ngerapik” muncul pada titik akhir sifat “langok” (bosan), naik sedikit pada posisi “melengos dan akhirnya “gelik yok”. Inilah yang pada titik nadirnya melahirkan generasi-generasi dengan sifat “Dak Kawa Nyusah NYUSAH”.
Perilaku DKN (Dak Kawa Nyusah) ini memang kelihatannya sangat pribadi atau tak memiliki dampak pada orang lain. Ternyata tidak, justru karena masuk pada fase “Dak Kawa Nyusah” inilah akhirnya memunculkan berbagai tindakan diluar norma.
Jika ia tak berpendidikan umumnya ia akan berbuat kriminal dengan tingkatan black collar crime (kejahatan kerah hitam). Perbuatan kriminal dalam tingkatan ini misalnya: nyopet, njambret, malak, mencuri, merampok, dan sebagainya.
Bagi yang berpendidikan tapi berperilaku “dak kawa nyusah” umumnya gampang masuk pada tingkatan “white collar crime” (kejahatan kerah putih).
Perbuatan dalam tingkatan ini umumnya adalah: menipu, korupsi, jual proposal, bikin LSM buat nyari uang, jual informasi, menjadikan orang lain ATM berjalan karena merasa “pegang kartu” yang bersangkutan, jual kepala (nama) orang (apalagi musim pemilu atau pilkada), dan sebagainya.
Perilaku Mantak
Dari beberapa fase (Maken Ulok, Taipau, Ngerapik dan Dak Kawa Nyusah) ini, ternyata akibat “agik mantak” (masih mentah)-nya pengalaman, pengetahuan dan mental spiritual seseorang.
Jika 3 hal ini (pengalaman, pengetahuan dan mental spiritual) “agik mantak” pada diri seseorang tapi ia tak menyadari, maka ia dalam pandangan orang lain akan disebut “mantak igak”.
Pada akhirnya ia pun di trademark sebagai orang “mantak malai” dan pada tingkatan parahnya adalah “mati mantak”.
Begitulah umumnya bahasa tutur kehidupan sosial ditengah-tengah masyarakat kita di Negeri Serumpun Sebalai ini, terutama masyarakat kampong yang dikenal jujur dan apa adanya.
Jika diibaratkan, kita ini seringkali berperilaku “kota nggak nyampe tapi desa sudah lewat”.
Terjemahan singkatnya adalah “kepaleng tanggong”! alias “kamkai”.
Kerapkali kita berperilaku (bergaya) seakan modern tapi nyatanya konyol dengan meninggalkan budaya lokal yang seharusnya sebagai karakter diri kita sebagai orang daerah.
Saat memberi materi, dalam sesi tanya jawab ada seorang peserta bertanya: “Bang, bagaimana menjadi pemuda sejati itu?”. Walaupun sampai hari ini belum masuk kategori atau jenis pemuda sejati, tapi pertanyaan itu harus saya jawab: